Jumat, 19 Oktober 2012

Ujian Hati





Rembulan kian meredup. Sinarnya yang menerobos genting kaca tak mampu menerangi seluruh ruangan yang memang sengaja kumatikan lampunya. Kupandangi bergantian kau dan lelaki kecilku yang terlelap. Satu kecupan mendarat di kening lelaki kecilku. Dia menggeliat, lalu kembali terlelap. Sedangkan kau, masih sama seperti biasa, sibuk dengan dengkuranmu. Kuberanjak pelan turun dari pembaringan, berharap kau dan lelaki kecilku tak menyadari kalau aku mengendap pelan meninggalkan kalian dalam lelap. Selama ini aku merasa asing dalam duniaku sendiri, semua karena keterpaksaan yang mengikat hatiku. Benarkah ucapmu kala itu? Yang kau bilang aku akan menemukan cinta ini seiring berjalannya waktu. Tapi nyatanya, hingga kini tak pernah hadir cinta itu di hatiku. Keadaan kian menyiksa ketika aku biarkan cinta yang sengaja kau tumbuhkan, layu begitu saja tanpa pernah kucoba mempertahankannya.

Kamis, 11 Oktober 2012

Mengubah Takdir



gambar dicomot dari sini

Keputusanku sudah bulat. Aku tak mungkin mengubahnya lagi. Biar pun dia berlutut dan menyembah kakiku, itu tak akan meluluhkan hatiku. Biarkan dia keluar dari rumah ini sebagai konsekuensi atas pilihan hidupnya. Aku sangat menyesalkan sikapnya yang tidak punya malu itu. Bagaimana bisa dia mengingkari kodratnya, sementara manusia selalu dituntut untuk bisa percaya pada Tuhan. Bukan malah mengingkari takdir yang sudah digariskan-Nya.

“Maafkan aku, Ma!”
Kututup saja telingaku agar tak mendengar ucapan maafnya yang kian terasa membosankan. Percuma saja memohon jika keputusanku untuk tidak memaafkannya sudah tak bisa diotak-atik lagi. Aku percaya pada Tuhan, kelak di lain waktu Dia yang akan menyembuhkan luka di hati ini.
Luka yang terasa perih akibat ‘goresan’ yang dia cipta. Rasa tidak punya malu yang ada pada dirinya itu tak langsung telah mencipta dinding pemisah hubungan darah ini. Tanpa ragu dia telah mencorengkan arang di muka kami – keluarganya. Tanpa ragu pula aku dan keluarga besarku akan mencoretnya dari daftar ahli waris. Punya ahli waris seperti dia, sungguh memalukan!


Jumat, 05 Oktober 2012

Kembalilah, Rana....


Kupandangi tubuhnya yang kini terbujur kaku. Aku tak tahu harus berbuat apalagi untuk membangunkannya. Aku tak percaya! Rasa-rasanya baru kemarin kami saling berdebat argumen, seperti biasanya. Dan selalu saja dia yang mengalah demi memenangkanku.
Rana adalah sosok saudara yang begitu perhatian. Kasih sayangnya padaku tak diragukan lagi. Seringkali dalam hati sebenarnya aku mengakui kebaikan-kebaikan Rana padaku. Tapi sayangnya, aku terlalu egois untuk mau mengakuinya sebagai saudara – meski wajah dan fisik kami sama. Ya, kami berdua memang kembar. Tak ada yang bisa membedakan kami yang bagai pinang dibelah dua ini. Dari potongan rambut, cara berdandan, berpakaian, bahkan cara berjalan kami pun sama. Tapi jika dilihat secara teliti, Rana memiliki sebuah tahi lalat di bawah dagu yang tidak kumiliki. Tentu saja perbedaan lainnya adalah sifat kami. Meski kami kembar, tapi aku dan Rana bagaikan air dan minyak yang tak pernah bisa menyatu. Semua ini karena rasa benci dan iriku pada Rana. Mengapa seolah-olah Dewi Fortuna hanya memayungi Rana, tapi tidak padaku. Hingga aku pun selalu hidup sebagai bayang-bayang Rana.