Malam
sudah semakin larut. Aku masih tetap tak bergeming dari tempat dudukku.
Kudongakkan kepala menengadah memandang wajah rembulan yang bulat sempurna.
Kedua kakiku kudekap dengan posisi melipat untuk sedikit mengusir udara dingin
yang kian menusuk sendi-sendiku.
“Masuk,
Nduk! Udara di luar semakin dingin,” teriak
Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku hanya menggeleng pelan. Semakin
kurapatkan kedua lututku ke dada.
Melihatku
tak jua beranjak, Ibu mendekatiku. Duduk di sampingku dan sekilas kulihat ada
kekhawatiran di mata Ibu.
“Kamu
kenapa, Nduk? Boleh Ibu tahu??” Ibu
membelai rambutku. Tapi aku masih enggan membuka mulut ini untuk menjawabnya.
Yang ada, aku justru menangis tertahan.
“Kok
malah nangis? Sebenarnya ada apa to, Nduk?”
untuk kedua kalinya Ibu menanyaiku.
“Mawar
tak mau menikah dengan Mas Jono, Bu. Tolong bilang Bapak, Mawar tak mau!”
akhirnya jawaban itu keluar juga dari mulutku. Kusandarkan kepala di pangkuan Ibu.
Ibu menghela nafas, seolah ingin melepaskan sebuah beban yang tengah menghimpit
dadanya.
“Sebenarnya
Ibu tahu kalau cintamu hanya untuk Arman. Tapi kapan dia akan melamar kamu?
Sementara sudah sebulan yang lalu keluarga Jono datang ke sini lengkap dengan
lamarannya. Dan Bapakmu terpaksa menangguhkan jawaban hanya untuk menunggu
Arman yang katamu akan segera pulang dan melamarmu. Dua hari lagi Bapakmu harus
memberikan jawaban pada keluarganya Jono, Nduk!”
Ibu kini terlihat ikut gelisah.
“Lalu,
Mawar harus bagaimana Bu?” isakku semakin menjadi. Takut membayangkan jika
pernikahan itu harus benar-benar terjadi.
“Suruh
Arman melamarmu dalam dua hari ini! Itu jalan satu-satunya, Nduk.” Ibu kembali mengusap kepalaku.
Tak berapa lama, beliau beranjak pergi. Meninggalkan aku yang masih bingung
bagaimana harus mengatakan semua ini pada Mas Arman. Kupandangi saja punggung
Ibu yang kian menjauh.
Krrriiiiiingggg...
Ponsel
yang sejak tadi kukantongi tiba-tiba berbunyi. Kulihat nomor Mas Arman yang
meneleponku. Tiba-tiba hatiku berdenyar gembira. Tanpa menunggu lama, kuangkat
telepon dari Mas Arman.
“Iya,
halo Mas.” Aku menyapa duluan.
“Mawar,
aku punya kabar gembira untukmu. Besok, Bapak-ibuku akan datang melamarmu.
Memintamu menjadi istriku, Mawar.” Ada nada gembira yang terdengar dari suara Mas
Arman. Aku yang belum siap dengan berita itu hanya bisa diam membisu, tapi
hatiku melonjak bahagia. Ada detak-detak tak teratur yang membuat jantung ini
semakin cepat terpacu.