Kamis, 27 Desember 2012

Aku Kejam...???

          "Kejam kamu!!"

     Itulah reaksi pertama yang keluar dari mulut nenekku saat aku beritahu kalau lelaki kecilku sudah kusapih dari dot-nya. Aku mengernyit heran. Kejam? Kenapa? Mendapat vonis kejam seperti itu, aku merasa diriku berubah layaknya monster yang siap menelan mangsa. Ada perasaan perih yang sedikit menggores hatiku. Benarkah aku sudah kejam terhadap anakku sendiri?
     
     Kejam itu kalau aku memukuli anakku sendiri. Kejam itu kalau aku tak memberi makan pada anakku. Kejam itu kalau aku tak lagi memberikan susu setelah kusapih dari dot-nya. Dan mungkin masih banyak hal-hal lain yang bersifat menyakiti atau membuat seorang anak terluka, yang lebih pantas untuk menyandang vonis kejam. Sedangkan aku? Aku belum pernah memukul anakku (dan  semoga tidak pernah), aku juga masih rutin memberinya makan, aku pun juga masih memberikan susu pada lelaki kecilku, meski sekarang media untuk minumnya bukan lagi di dot, melainkan di gelas / cangkir. Lalu aku dikatakan kejam darimana? Bahkan dengan penyapihan dot ini, bukan berarti aku mengurangi kasih sayang kepada lelaki kecilku.
          

Sabtu, 22 Desember 2012

Happy Mother Day


Seharian ini wall-wall di FB pada penuh dengan ucapan "Selamat Hari Ibu", "Happy Mother Day", atau yang sejenisnya. Apapun sebutannya, Ibu, Mama, Mommy, Mother, Ummi, atau Bunda, adalah sosok yang begitu berarti dalam kehidupan kita. Kalau aku sih terbiasa memanggil Ibu dengan sebutan Emak. Biar ndeso, tapi aku lebih menyukai panggilan itu. Bahkan keponakan dan anakku sendiri memanggil Ibuku dengan sebutan "Mak". :D

Kadang aku berpikir, apa sih yang sudah aku persembahkan buat Emakku? Dan kalau diingat-ingat sekaligus sesuai faktanya, aku merasa belum bisa memberikan sesuatu yang berharga buat Emak. Duh Mak... maafkan anakmu ini!

Jumat, 21 Desember 2012

# GA Ya Allah Beri Aku Kekuatan, Aida MA


Wanita Fajar dan Gadis Kecilnya

Ada kalanya Allah memberikan kita ‘cermin’ dari kehidupan orang lain di sekitar kita, agar kita lebih banyak memanjatkan syukur
***
            
     Dia bukanlah siapa-siapa, hanya tetangga dekat rumah (tempat tinggal suami), yang kebetulan kisah hidupnya mampu memberikan gambaran tentang kekuatan seorang wanita dalam menjalani cobaan hidup. Sebut saja namanya Sri (nama disamarkan).

     Sri adalah anak pertama dari sebuah keluarga yang bisa dibilang berada. Orang tuanya (tinggal ibunya saja) memiliki sawah berpatok-patok. Kambing peliharaannya pun puluhan ekor. Akan tetapi keadaan itu tak lantas membuat Sri berpangku tangan menikmati harta orang tua. Sebelum fajar menyingsing, Sri sudah berkutat dengan aktivitasnya mengumpulkan barang-barang bekas. Ya, itulah pekerjaan Sri – pemungut barang bekas.

     Pasti dibenak kita akan bertanya-tanya, “Orang tuanya saja kaya, kenapa dia mesti jadi pemungut barang bekas?” Awalnya, aku pun bertanya demikian. Tetapi begitu menelusuri kehidupannya, barulah aku mengerti. Rupanya, ibunya Sri pernah menolak keadaan Sri. Kenapa? Karena Sri adalah seorang penyandang disabilitas. Sebenarnya bukan bawaan sejak lahir, namun sebuah insiden kecelakaanlah yang akhirnya merenggut kebebasan gerak Sri. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Mungkin itulah peribahasa yang pas untuk menggambarkan nasib Sri. Di saat fisiknya tak lagi normal, dukungan dari keluarga pun seolah hilang. Dengan alasan itulah, Sri merasa berkewajiban untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri, karena dia tak ingin merepotkan ibu dan keluarganya yang lain. Sebelum menjadi seorang pemungut barang bekas, Sri juga pernah menjadi seorang pengasuh bayi.
(Catatan : kondisi fisik Sri cacat tangan dan kaki. Tangan sebelah kanan jari-jarinya menekuk, sedangkan telapak kaki kanan posisinya miring, sehingga jalannya timpang).

Kematian Kedua



Judul          : Kematian Kedua
Penulis        : Oke Sudrajat
Penerbit      : Penerbit Anza
Terbit          : Mei 2012
Halaman      : viii + 168 halaman


           Kematian adalah sebuah misteri. Terkait dengan misteri sebab, waktu, dan tempat. Hanya Tuhan yang mengetahui segala jawaban perihal kematian. Seringkali kata kematian itu sendiri menimbulkan ketakutan. Namun tidak seharusnya takut itu ada, karena bagaimanapun setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati. Pasti!
            Kematian bisa terjadi pada siapa saja, tidak pandang umur. Bisa saja terjadi pada seseorang di usia yang belum genap tiga puluh tahun, seperti yang terjadi pada Desta dan Maya – kedua tokoh dalam novel ini. Desta dan Maya mengalami kematian dengan sebab yang berbeda. Namun siapa sangka jika Tuhan belum benar-benar berkehendak mencabut nyawa mereka, hingga kematian itu tertunda. Keduanya kembali menghirup udara kehidupan. Pihak medis menyebutnya mati suri.
            Kehidupan Desta dan Maya berubah drastis setelah mereka kembali hidup dari kematiannya. Banyak hal aneh di luar logika yang sering mereka temui. Mereka menyadari keanehan ini semenjak mereka masih di rumah sakit. Kesamaan inilah yang akhirnya membuat keduanya semakin dekat.
           

Selasa, 18 Desember 2012

Siluet Cinta Monyet



Orang tua mana yang akan membiarkan anak gadisnya berhubungan dengan pria berandal, yang ketika memakai celana jeans saja terlihat bolong di kedua dengkulnya. Belum lagi jika berpadu dengan kaos longgar hitam yang terlihat dekil.

Mawar Yang Tak Lagi Mekar


 

 Malam sudah semakin larut. Aku masih tetap tak bergeming dari tempat dudukku. Kudongakkan kepala menengadah memandang wajah rembulan yang bulat sempurna. Kedua kakiku kudekap dengan posisi melipat untuk sedikit mengusir udara dingin yang kian menusuk sendi-sendiku.
“Masuk, Nduk! Udara di luar semakin dingin,” teriak Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku hanya menggeleng pelan. Semakin kurapatkan kedua lututku ke dada.
Melihatku tak jua beranjak, Ibu mendekatiku. Duduk di sampingku dan sekilas kulihat ada kekhawatiran di mata Ibu.
“Kamu kenapa, Nduk? Boleh Ibu tahu??” Ibu membelai rambutku. Tapi aku masih enggan membuka mulut ini untuk menjawabnya. Yang ada, aku justru menangis tertahan.
“Kok malah nangis? Sebenarnya ada apa to, Nduk?” untuk kedua kalinya Ibu menanyaiku.
“Mawar tak mau menikah dengan Mas Jono, Bu. Tolong bilang Bapak, Mawar tak mau!” akhirnya jawaban itu keluar juga dari mulutku. Kusandarkan kepala di pangkuan Ibu. Ibu menghela nafas, seolah ingin melepaskan sebuah beban yang tengah menghimpit dadanya.
“Sebenarnya Ibu tahu kalau cintamu hanya untuk Arman. Tapi kapan dia akan melamar kamu? Sementara sudah sebulan yang lalu keluarga Jono datang ke sini lengkap dengan lamarannya. Dan Bapakmu terpaksa menangguhkan jawaban hanya untuk menunggu Arman yang katamu akan segera pulang dan melamarmu. Dua hari lagi Bapakmu harus memberikan jawaban pada keluarganya Jono, Nduk!” Ibu kini terlihat ikut gelisah.
“Lalu, Mawar harus bagaimana Bu?” isakku semakin menjadi. Takut membayangkan jika pernikahan itu harus benar-benar terjadi.
“Suruh Arman melamarmu dalam dua hari ini! Itu jalan satu-satunya, Nduk.” Ibu kembali mengusap kepalaku. Tak berapa lama, beliau beranjak pergi. Meninggalkan aku yang masih bingung bagaimana harus mengatakan semua ini pada Mas Arman. Kupandangi saja punggung Ibu yang kian menjauh.
Krrriiiiiingggg...
Ponsel yang sejak tadi kukantongi tiba-tiba berbunyi. Kulihat nomor Mas Arman yang meneleponku. Tiba-tiba hatiku berdenyar gembira. Tanpa menunggu lama, kuangkat telepon dari Mas Arman.
“Iya, halo Mas.” Aku menyapa duluan.
“Mawar, aku punya kabar gembira untukmu. Besok, Bapak-ibuku akan datang melamarmu. Memintamu menjadi istriku, Mawar.” Ada nada gembira yang terdengar dari suara Mas Arman. Aku yang belum siap dengan berita itu hanya bisa diam membisu, tapi hatiku melonjak bahagia. Ada detak-detak tak teratur yang membuat jantung ini semakin cepat terpacu.