Kuamati jam dinding yang terus berdetak. Jarum pendeknya hampir menyentuh angka tujuh. Hatiku mulai cemas. Tidak biasanya Ibu pulang selarut ini. Konsentrasiku untuk belajar buyar seketika. Sementara itu suara guntur mulai menggelegar menandakan kalau sebentar lagi hujan akan turun dengan deras.
“Ya Allah.. lindungilah di mana Ibu berada,” lirih kuucap
sebaris kalimat doa untuk Ibu yang sekarang entah di mana. Sungguh, aku tak
ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu.
Aku pernah merasakan bagaimana pedihnya kehilangan seseorang
yang sangat kusayangi. Dua tahun yang lalu, Ayah pulang tinggal nama. Tabrakan
maut di jalur tengkorak telah melayangkan nyawanya. Dan jika sekarang aku harus
kehilangan Ibu, aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Ah, tak pantas rasanya aku
berpikiran yang tidak-tidak seperti itu. Boleh jadi Ibu sedang berteduh atau
istirahat di suatu tempat ketika kakinya mulai letih melangkah pulang.
Ibu adalah wanita yang pernah kubenci. Bukan karena
tabiatnya yang keras atau tangannya yang ringan memukulku. Tidak! Bukan karena
semua itu. Bahkan tak pernah sekalipun Ibu membentakku dengan nada kasar. Aku
membencinya, karena aku merasa Ibu sangat memalukan.
Semenjak Ayah meninggal, ibulah yang menggantikan posisi
Ayah sebagai tulang punggung keluarga. Mencari nafkah dan membiayai sekolahku.
Namun tak pernah sekalipun aku melihat pekerjaan Ibu yang sesungguhnya. Hingga
satu waktu, mataku terbelalak kecewa melihat pekerjaan Ibu yang menurutku
sungguh memalukan.
“Ibu? Mengapa pakai pakaian seperti ini?” tanyaku pada Ibu
yang tengah menyandarkan tubuhnya di bawah pohon asam. Di tangannya tergenggam
beberapa keping uang receh yang tengah dihitungnya.
Ibu tersentak melihat aku memergokinya. Kostum badut
berperut gendut itu membuat Ibu kepayahan berdiri.
“Nina, kok kamu ada di sini?” tanya Ibu gugup.
“Seharusnya aku yang bertanya pada Ibu. Jadi ini pekerjaan Ibu selama ini? Ibu menjadi badut keliling?”
Tak kudengar jawaban dari Ibu. Yang ada hanya sebuah
anggukan halus yang tertangkap oleh mataku.
“Aku malu, Bu. Malu!” kutatap tajam mata iIu. Ibu hanya
menunduk menyembunyikan genangan air mata yang sebentar lagi akan menyeruak
keluar. Setelahnya, tak kupedulikan lagi teriakan Ibu yang memanggil-manggil
namaku. Semenjak itulah hubunganku dengan Ibu memburuk.
***
“Nin, Ibu kamu wanita hebat,” sapa Wiwik begitu dia duduk di
sampingku.
Seketika keningku mengernyit, “Hebat apanya? Ibuku hanya
seorang...”
Aku tak meneruskan kata-kataku. Kalimat itu kubiarkan
menggantung begitu saja. Namun dengan cepat Wiwik segera menyahutnya, “Seorang
badut maksud kamu? Kenapa jika memang ibu kamu seorang badut? Kamu malu?”
Lagi-lagi aku terdiam. Wiwik segera menghadapkan tubuhku ke
arahnya.
“Ibu kamu wanita hebat, Nin. Kemarin dia sudah menyelamatkan
adikku. Kalau tak ada ibumu, mungkin saja adikku sudah tertabrak pengendara
sepeda motor yang ngebut ugal-ugalan. Jika orang lain saja bisa menghormatinya,
bagaimana mungkin kamu yang justru anaknya malu mengakuinya?”
“Menjadi seorang badut bukanlah pekerjaan yang memalukan,
Nin.” Tanpa mendengar komentarku, Wiwik segera beranjak dari duduknya.
Entah mengapa mendengar kalimat-kalimat yang meluncur dari
bibir Wiwik membuat hatiku tersentak sadar. Ke mana aku selama ini? Mengapa aku
bisa begitu membenci Ibu hanya karena dia menjadi badut? Karena malu-kah?
Seharusnya aku malu menjadi anak yang durhaka seperti ini. Malu menjadi anak
dari seorang wanita mulia seperti Ibu. Ah, Ibu.. maafkan anakmu ini.
Dengan bulat hati, kuniatkan untuk meminta maaf pada Ibu.
Aku tak ingin terus-terusan menyakiti hati Ibu. Tak pantas rasanya seorang anak
yang sudah dikandung dengan susah payah membenci wanita yang telah
mengandungnya.
Hujan turun dengan derasnya. Belum juga kudengar ketukan
dari arah pintu. Aku mondar-mandir membuka tirai yang menutupi jendela kayu di
rumahku, berharap mataku menemukan sosok Ibu dalam rinai hujan.
Belum juga semenit aku terduduk, telingaku menangkap suara
ketukan. Setengah berlari aku menuju ke arah pintu dan segera membukanya.
Kulihat raga Ibu yang basah. Wajah lelahnya masih saja menyunggingkan senyum.
Tanpa banyak kata, segera kupeluk tubuh Ibu yang kurus.
“Ibu, maafkan Nina..”
Ibu terdiam. Hanya saja, dengan lembut tangannya mengusap
kepalaku. Dari semua itu cukuplah kutahu kalau Ibu sangat menyayangiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar