Aku adalah seorang yang suka latah jika melihat lomba-lomba keren. Apalagi jika hadiahnya sebuah buku yang tak kalah kerennya. Nah, kali ini aku mau mencoba mencari keberuntungan dengan mengikuti kuisnya Mbak Leyla Hana. Sukur-sukur nanti bisa memiliki buku Cinderella Syndrom ini secara gratis... tis... tis... *maklum, aku memang tampang gretongan* :D
Yang berminat ikutan juga, ini link kuisnya : http://leylahana.blogspot.com/2012/08/giveaway-novel-cinderella-syndrome.html
Erika, seorang wanita dewasa yang
sukses di karier. Setiap orang yang mengenal Erika selalu menganggap dia
sebagai pribadi yang sempurna. Karier yang terus melejit dari tahun ke tahun
selalu menjadi tolak ukur keberhasilannya. Namun satu hal yang seolah
mengurangi kesan sempurna dari Erika, yaitu jodoh. Hingga usianya menginjak 30
tahun Erika belum menikah. Bukan karena
tidak ada lelaki yang tak mau mendekati Erika, tapi karena memang Erika yang
belum menginginkan sebuah ikatan pernikahan. Ada satu hal di masa lalu yang
menorehkan trauma dalam diri Erika, hingga Erika enggan menjalani kehidupan
pernikahan.
Lelaki kekar itu – lelaki yang
seharusnya dipanggil Erika dengan sebutan Ayah – lelaki yang seharusnya menjadi
pelindung Erika dan ibunya, justru lelaki itu pula yang menyebabkan trauma itu
terus-terusan terekam di hati Erika. Erika kecil – sengaja atau tidak sengaja –
seringkali mendapati Ayahnya memukul ibunya. Erika yang ketika itu memang belum
mengerti apapun tentang persoalan orang dewasa hanya bisa merekam adegan demi
adegan kekerasan itu sebagai suatu kejahatan. Tanpa dia tahu alasan sebenarnya
mengapa si Ayah kerap memukuli ibunya. Erika kecil hanya bisa mengintip di
balik pintu ketika ibunya tengah meringkuk dan menjerit menangis akibat pukulan
dari ayahnya. Ia memang tak bisa berbuat apapun untuk menolong ibunya. Hanya
saja ketika ayahnya sudah pergi, Erika lantas memeluk erat ibunya. Kadangkala
Erika pula yang mengoleskan obat merah pada luka di sekujur tubuh ibunya.
Suatu ketika Erika harus mendapati
kenyataan pahit kalau ibu yang dicintainya meninggalkannya di tengah malam
buta. Begitu pagi menjelang, Erika baru menyadari kalau ibunya tak ada di
setiap ruang di rumahnya. Erika hanya menemukan sepucuk surat yang bertuliskan
tangan ibunya. Dalam surat itu ibunya meminta maaf karena telah meninggalkan
Erika dan terpaksa pergi bersama seorang lelaki yang nyata-nyata lebih
mencintainya. Ibunya merasa tak tahan dengan perlakuan ayah Erika selama ini.
Di usianya yang masih sangat belia,
Erika menarik kesimpulan bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang menyakitkan.
Akan ada korban dalam setiap pernikahan. Dalam hal ini dia memposisikan dirinya
sendiri sebagai korban. Korban keegoisan dari kedua orang tuanya. Andai saja
Ayahnya bukan seorang lelaki yang ringan tangan. Andai saja Ibunya mau sedikit
bertahan dengan kondisi yang setiap hari dia rasakan, serta pengandai-andaian
lain yang akhirnya memaksakan pemikiran Erika menjadi dewasa sebelum waktunya.
Sejak
kepergian ibunya, tabiat ayah Erika mulai berubah. Ayahnya menjadi seorang
pribadi yang lebih sabar, bahkan lebih perhatian terhadap Erika. Namun sayang,
nasi sudah menjadi bubur. Bagaimanapun mereka memohon, ibunya tetap tak mau
melanjutkan komitmen bersama ayah Erika. Justru surat permohonan cerai yang
menjawab permohonan itu. Sejak itulah Erika hidup berdua bersama ayahnya dalam 'bingkai'
trauma yang terus menerus dibawanya hingga dia dewasa.
Erika, seorang wanita dewasa –
mencoba tegar dalam setiap langkah kehidupannya – namun siapa sangka jika di
balik ketegarannya itu dia tetap membutuhkan seseorang sebagai tempat mencurahkan
perasaan. Semasa kuliah hingga bekerja Erika mempunyai seorang sahabat bernama
Eno. Kesamaan nasib dari keluarga yang broken home membuat keduanya bersahabat
dekat. Kemana-mana selalu berdua, bahkan faktor keberuntungan pula yang membuat
mereka diterima bekerja di sebuah kantor media massa yang sama. Hanya saja dari
tahun ke tahun karier Erika lebih melejit daripada Eno. Meskipun demikian,
hubungan keduanya tetap berjalan baik.
Semakin tinggi sebuah pohon, maka semakin
kencang pula angin yang meniupnya. Begitupun dengan kehidupan Erika. Karena
kedekatan Erika dan Eno inilah yang akhirnya menimbulkan sebuah prasangka
mengapa di usianya yang sudah 30 tahun Erika tak jua mau menikah. Prasangka itu
mengerucut pada satu dugaan, Erika dan Eno adalah pasangan lesbian.
Awalnya Erika dan Eno tak
menghiraukan hembusan isu yang kadang membuat panas telinga itu. Namun karena
tidak hanya satu-dua orang yang mengatakannya, akhirnya harus ada pembuktian
ketidakbenaran dari gosip itu. Apalagi ayah Erika yang entah darimana mendengar
gosip itu lantas menutut Erika untuk segera menikah jika memang berita tersebut
tidak benar. Di saat-saat seperti inilah Erika mengenal seorang lelaki bernama
Dio. Dio adalah patner kerja Erika yang baru, pindahan dari kantor cabang kota
lain.
Sikap Dio yang menunjukkan sebentuk
perhatian khusus pada Erika ternyata bagai gayung yang bersambut. Erika mulai
membaca sinyal kalau memang ada ketertarikan di hati Dio terhadapnya. Perlahan,
Erika mulai menerima setiap perhatian yang diberikan Dio sebagai suatu
kebiasaan. Dari kebiasaan-kebiasaan kecil inilah yang akhirnya membuat Erika
menilai bahwa Dio adalah seorang lelaki yang tepat untuknya. Sedikit demi
sedikit Erika mulai menguliti trauma di hatinya akan sebuah pernikahan. Nyatanya,
hati nurani Erika sebagai seorang wanita pun berbisik, “Aku membutuhkan sebuah
pernikahan.“ Dan Erika menjatuhkan pilihan itu pada Dio. Dari pernikahan itu
juga, Erika ingin menepis keras-keras gosip yang selama ini menimpanya. Sebuah
ikatan pernikahan akan membebaskan Erika dari tuduhan sebagai seorang lesbian.
Pernikahan
itu ibarat meneguk jamu, ada sensasi rasa pahit serta manis yang akan kita
kecap. Bertahanlah jika kita sedang berada di sensasi ‘pahit‘ itu, dan
nikmatilah jika kemudian kita mengenyam rasa ‘manisnya‘. Bukankah setiap detik
waktu akan mengalami perubahan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar