Sore ini aku kembali
menjejakkan kaki di tempat kelahiranku. Setelah hampir dua tahun aku mengadu
nasib di ibu kota. Aku rindu kampung halamanku. Rindu dengan mbakku
satu-satunya, dan tentu saja rindu dengan lelaki
masa kecilku.
SOLO. Di sinilah
aku dilahirkan dan dibesarkan. Kota yang
menyimpan banyak kenangan. Hujan gerimis.
Pukul 17.00 kereta sampai di stasiun Purwosari. Tak ada yang menjemputku,
karena sebelumnya aku memang mengatakan pada Mbakku tak usah menjemputku. Aku
ingin menikmati perjalanan ini sendiri. Lagipula kuingat ini hari Sabtu.
Biasanya Mbak pergi ke rumah mertuanya. Sambil menunggu
angkuta lewat, aku berteduh di halte yang ada di depan stasiun. Hari mulai
gelap. Hujan masih saja menitik. Tak lama setelah itu dari kejauhan aku melihat
mobil ber-plat nomor kuning. Yes,
angkutaku datang! pekikku dalam hati. Segera aku menyetopnya begitu angkuta itu mendekat.
Wow, kok sepi? Pikiran parnoku mulai
menggelitik. Sekarang kan banyak kejahatan di angkuta. Tapi rasa ingin cepat
sampai di rumah Mbak itulah yang memaksaku untuk nekat segera masuk ke dalam angkot
itu.
Pandanganku
beredar. Tanpa sengaja tatapan mataku bertemu dengan sepasang mata milik
seseorang. Dialah satu-satunya penumpang di dalam angkot ini. Dia duduk di pojok
belakang angkot. Sekilas aku mengenali pemilik sepasang mata itu. Diapun
tersenyum. Mataku terbelalak tak percaya. Oh God ...! Dia kan Aryo.
Dia menyapaku. Menggeser duduknya mendekatiku.
Jujur saja. Rasa itu kembali menelisik
ruang di hatiku. Hatiku bergetar. Kurasakan keringat dingin mulai menjalari kedua
telapak tanganku. Degup jantungpun menjadi tak menentu. Ah, kenapa kamu selalu membuatku seperti ini jika kita bertemu, batinku
bertanya.
“Nggak dijemput Rie?”Aryo
membuyarkan lamunanku.
“Enggak. Mbakku pergi ke rumah mertuanya,” ucapku singkat, masih dalam grogiku.
Aryo manggut-manggut. Lama kami terdiam, terhanyut dalam pikiran masing-masing.
Entahlah, dari dulu kenapa aku begitu
mengaguminya. Pribadinya yang sederhana selalu menawan hati ini. Ramah dan sopan
sikapnya membuatku semakin merindu. Dan wajah oriental itu memberi nilai plus di mataku. Tak ada hal jelek yang aku
lihat dalam dirinya. Dan semua ini mungkin karena rasa cintaku padanya. Yah, selalu begitu kan yang namanya cinta? Selalu tampak baiknya. Tapi aku rasa, penilaianku ke Aryo tidak salah.
Aku memang mencintai Aryo sejak lama. Sejak di tahun terakhir kami memakai seragam
putih abu-abu. Tapi rasa itu hanya tersimpan rapi dalam setiap bilik hatiku dan
tertutup rapat. Aku tak mau merusak persahabatan yang telah terjalin sejak kami
masih SD.
Hujan mulai mereda. Namun titik-titik
airnya masih menempel dan membekas di kaca jendela angkot yang aku tumpangi.
Aku merasakan udara yang semakin dingin. Entah kenapa aku begitu kuat merasakan
rasa dingin ini. Kulirik Aryo, lelaki masa kecilku sedang duduk tenang di
sampingku. Sepertinya dia sangat menikmati udara dingin ini. Kunaikkan
resleting jaketku untuk mengurangi sedikit rasa dingin.
Sebentar lagi aku akan sampai di
rumah. Itu artinya aku harus turun dari angkot ini, dan tentu saja harus
berpisah dengan Aryo. Aryo memang masih terbilang tetanggaku. Hanya saja,
rumahnya masih selang dua gang dari rumahku.
“Ehmm ... Yo, aku turun duluan ya?” Angkot telah berada di depan gang rumahku.
“Oke, hati-hati nona manis! Nanti malam aku boleh kan maen ke rumahmu?” dia tersenyum.
Aku mengangguk .
Tanpa dia tahu, betapa senangnya hatiku. Ingin rasanya aku melonjak gembira saat itu juga. Tapi
untungnya aku masih punya rasa malu. Angkot kembali melaju membawa lelaki masa kecilku di dalamnya.
Rumah Mbak sepi. Tak ada orang
satupun. Untung tadi Mbak sudah sms aku dimana biasanya dia menaruh kunci
rumahnya. Aku cari posisi yang sudah dismskan Mbak tadi. Dan benar saja, aku
menemukan benda terbuat dari logam itu. Ceklik ... ceklik. Tak membutuhkan waktu lama untuk membuka pintu rumah Mbak. Aku masuk ke dalam,
suasana gelap. Entah kenapa bulu kudukku agak merinding. Mungkin karena lama
aku tak menginjakkan kaki di rumah ini. Semua lampu kunyalakan, dan byar ...
itu bisa sedikit mengurangi rasa takutku. Setidaknya sampai ada oarang yang
datang menemaniku. Dan orang itu adalah Aryo. Aku berharap dia tak ingkar
janji.
Sesegera mungkin aku mandi dan mematut
diri di depan cermin. Aku ingin terlihat cantik di depan Aryo nanti. Aku bertekad, saat
inilah aku harus mengungkapkan perasaanku padanya. Aku tak bisa menyimpannya
terus menerus. Atau aku akan menyesal seumur hidupku.
Brem ... brem ...
Aku mendengar deru
motor di depan rumah. Aku berlari ke arahnya, mengintip di balik tirai jendela.
Hatiku
semakin berdesir melihat Aryo turun dari Ninja biru-nya. Detak jantungku semakin kacau.
Kubuka pintu. Kusambut dia dengan
senyum. Diapun balas tersenyum. Aryo tampak berbeda kali ini. Wajahnya terlihat lebih
bersih dengan setelan kemeja dan celana serba putih. Dia pun duduk berdekatan
denganku. Kusuguhkan secangkir coklat panas untuk mengusir udara dingin setelah
hujan tadi sore.
Setelah terlibat basa-basi sebentar,
tiba-tiba dia menggenggam tanganku.
“Rie, aku pengen bilang sesuatu sama kamu,” dia menatapku. Aku rasakan tangannya begitu dingin.
Mungkin dia grogi, pikirku. Aku tak sanggup membalas tatapannya yang terasa menusuk-nusuk hatiku.
“Iya, bilang saja. Apa?”
Sebisa mungkin kuhindari tatapan matanya agar hati ini tak
semakin berdesir.
“Rie, aku sayang kamu. Aku tak ingin melewatkan kesempatan ini, Rie. Ini
kesempatan pertama dan terakhirku untuk menyatakan perasaanku padamu.
Setidaknya aku akan merasa lega jika sudah mengungkapkan isi hati ini,” Dituntunnya tanganku ke dadanya. Merasakan degup
jantungnya yang tak kalah cepatnya dengan degup jantungku. Seolah-olah detak
ini saling berpacu.
Aku diam, tak percaya dengan apa yang kudengar. Bibirku pun kelu untuk membalas ucapan cintanya. Nyaliku untuk bicara jujur pada Aryo luntur sudah. Tapi aku yakin, dari tatapan mataku dia bisa membaca apa yang sedang kurasakan sama dengan yang dia rasakan.
Tanpa terasa wajah kami saling
berdekatan. Dalam waktu sedetik saja bibirnya menempel di bibirku. Ini pertama
kalinya bibirku tersentuh lelaki. Badanku gemetar. Hawa dingin kembali
menerobos sendi-sendi tulangku. Kujuga merasakan bibirnya begitu dingin.
Sedingin potongan es batu yang sengaja ditempelkan. Entah berapa lama kami
saling berpagut. Kami sangat menikmatinya. Setelah adegan dewasa itu, dia memelukku. Erat, bahkan
sangat erat. Seolah dia hendak pergi jauh.
Hari sudah malam. Aryo pun pamit
pulang. Aku mengiringi kepergiannya dengan hati berbunga-bunga. Sebelum melangkah keluar, kembali dia mengecup
lembut keningku. Perlakuannya padaku sudah pasti membuatku tak bisa tidur nyenyak malam ini. Aku
sungguh bahagia.
Tak lama setelah kepergiannya, Mbak
pulang. Dia heran melihat aku senyum-senyum sendiri duduk di sofa. Melihat ada
dua cangkir di meja, Mbak bertanya padaku.
“Tamune siapa, Nduk? kok kelihatannya kamu seneng banget?” goda Mbak.
“Ehm, itu Mbak ... Tadi si Aryo maen ke sini,” ucapku tersipu malu.
Mbak bingung, mungkin dia
mengingat-ingat Aryo siapa, maklum sudah lama dia tidak maen ke rumah.
“Aryo siapa sih, Nduk? Bukane Aryo itu ...” Mbak tidak melanjutkan kata-katanya. Namun kutangkap kebingungan di wajahnya.
“Iya Mbak ... Aryo temen maenku dulu. Temen dari SD. Itu noh, rumahe yang ada
di ujung gang sana.”
“Aihh, kamu nggak bercanda? Bukane kemarin Aryo meninggal? Sehari sebelum kamu
pulang, dia kecelakaan.” Mbak
masih bingung. Aku tak kalah bingungnya. Jika benar apa yang dikatakan Mbak, lalu siapa
yang barusan tadi datang? Mencium bibirku ini dan memelukku? Tiba-tiba bulu
kudukku kembali merinding. Hawa dingin kembali merasuk ke dalam sendi-sendi
tulangku. Kepalaku terasa nyeri, dan tiba-tiba semuanya terasa gelap...
waa waa.. serem..
BalasHapusKebayang ga kalau kita yang mengalaminya? hehehe
Hapus