“Dia meminta sedikit ruang di hati mas. Sedikit saja.”
nada suara mas begitu memohon.
Aku tak
sanggup berkata-kata. Lidahku kelu. Yang ada hanya air mata yang menjadi saksi
atas permintaan itu. Permintaan yang aku sendiri tak pernah tahu apakah aku
bisa mewujudkannya. Ya, permintaan untuk berbagi hati.
Mas
memelukku. Diusapnya butir bening yang terus menyeruak dari kedua mataku.
Dadaku terasa sesak. Permintaan itu sungguh seakan menusuk-nusuk hatiku. Perih.
“Mas
mengabulkannya?” kucoba menguatkan hati dan bertanya pada mas. Sebenarnya aku
ingin mas menggeleng sebagai jawabannya. Namun, lagi-lagi aku harus kecewa.
Anggukan itu serasa menjadi pukulan yang sangat berat yang menghantam dadaku.
“Sedikit
itu seberapa mas? Seperdelapan? Seperempat? Sepertiga? Atau Setengah? Bisakah
mas menghitungnya dengan tepat?” air mata tak mampu lagi kubendung.
“Maafkan
mas, dik.. maafkan dia juga. Dia hanya ingin ada yang menemaninya di sisa
hidupnya. Dan dia memilih mas. Mas juga tak tahu kenapa di usianya yang sudah
kepala tiga, dia menjatuhkan pilihan pada mas yang sudah beristri, sedangkan
sebelumnya tak ada seorang lelakipun yang mampu menarik hatinya”
Aku
semakin tergugu mendengar kata-kata mas. Bagiku ini sungguh tak adil. Kenapa
cintanya yang terlambat datang itu harus bertaut di hati mas? Sedang dia tahu
kalau mas sudah punya aku.
Yah.. Kadang hidup melatih kita menjadi tegar.
BalasHapusDengan atau tanpa seseorang.. Apapun yg kita alami
Semoga kuat bagi yg tanpa teman :)
Yah.. Kadang hidup melatih kita menjadi tegar.
BalasHapusDengan atau tanpa seseorang.. Apapun yg kita alami
Semoga kuat bagi yg tanpa teman :)