Senin, 25 Februari 2013

Rindu Permainan Tradisional

Di zaman yang serba canggih ini, kita jarang sekali bisa menemukan penjual mainan tradisional seperti semasa kita masih kecil dulu. Kalau dulu saya mengenal permainan dakon, gobak sodor, jelungan (petak umpet), bekel, maka di zaman ini kita lebih sering menjumpai berbagai macam permainan modern berbahan plastik, dengan warna yang mencolok, dan dapat dirakit-rakit sendiri. Atau kalau tidak, anak sekarang lebih suka menghabiskan waktu di depan komputer untuk memainkan games online. Ada juga yang lebih suka mengotak-atik HP, keren-nya lagi malah BB. Suatu barang permainan yang "WOW" menurut saya. :D

Tak ada untungnya memang kita membandingkan antara permainan tradisional dengan permainan modern, karena masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Tapi pernahkah hati kecil kita bertanya kemana hilangnya permainan tradisional sekarang ini? Tak lagi kita jumpai pedagang keliling yang menjual mainan rebana-rebananan atau kertas warna-warni yang dilipat-lipat. Seingat saya, dulu ada pedagang mainan keliling yang menjual mainan tradisional tersebut dengan cara barter. Barter? Ya, barter dengan barang rongsokan apapun yang kita punya. Mainan yang sering dibarter ya rebana-rebananan tadi.

Kamis, 21 Februari 2013

Lelaki Masa Kecil




Sore ini aku kembali menjejakkan kaki di tempat kelahiranku. Setelah hampir dua tahun aku mengadu nasib di ibu kota. Aku rindu kampung halamanku. Rindu dengan mbakku satu-satunya, dan tentu saja rindu dengan lelaki masa kecilku. 

SOLO. Di sinilah aku dilahirkan dan dibesarkan. Kota yang menyimpan banyak kenangan. Hujan gerimis. Pukul 17.00 kereta sampai di stasiun Purwosari. Tak ada yang menjemputku, karena sebelumnya aku memang mengatakan pada Mbakku tak usah menjemputku. Aku ingin menikmati perjalanan ini sendiri. Lagipula kuingat ini hari Sabtu. Biasanya Mbak pergi ke rumah mertuanya. Sambil menunggu angkuta lewat, aku berteduh di halte yang ada di depan stasiun. Hari mulai gelap. Hujan masih saja menitik. Tak lama setelah itu dari kejauhan aku melihat mobil ber-plat nomor kuning. Yes, angkutaku datang! pekikku dalam hati. Segera aku menyetopnya begitu angkuta itu mendekat. 

Wow, kok sepi? Pikiran parnoku mulai menggelitik. Sekarang kan banyak kejahatan di angkuta. Tapi rasa ingin cepat sampai di rumah Mbak itulah yang memaksaku untuk nekat segera masuk ke dalam angkot itu. 

Pandanganku beredar. Tanpa sengaja tatapan mataku bertemu dengan sepasang mata milik seseorang. Dialah satu-satunya penumpang di dalam angkot ini. Dia duduk di pojok belakang angkot. Sekilas aku mengenali pemilik sepasang mata itu. Diapun tersenyum. Mataku terbelalak tak percaya.  Oh God ...! Dia kan Aryo. Dia menyapaku. Menggeser duduknya mendekatiku. 

Surat Cerai


“Cepat tanda tangan! Tak usah kau banyak tanya,” dilemparkannya map itu di atas meja di hadapanku.
Mataku terbelalak ketika kubuka dan membacanya, “SURAT CERAI”.
Wanita di samping Mas Ray tertawa sinis.

“Mas mau menceraikanku?” tanyaku masih tak mengerti.

“Ya... kerena kamu mandul,” kata Mas Ray kasar.

Senin, 11 Februari 2013

Kataku Tentang "Sunset in Weh Island"



Karya Aida M.A

Super romantis!

             
Ya, itulah kata yang pas untuk menggambarkan novel karya Mbak cantik Aida Maslamah Affandi a.k.a Aida M.A ini. Novel ini bersetting di Sabang, dimana tidak semua orang – bahkan kita yang warga Negara Indonesia sendiri – belum tentu mengenalnya. Tapi jangan khawatir, dengan membaca novel ini sedikit banyak kita diajak untuk membayangkan betapa indahnya Pulau Sabang. Dan saya yakin, setelah membaca novel ini beberapa pembaca pasti penasaran dan ingin membuktikan sendiri keindahan pantai-pantai di pulau yang terletak di ujung kulon ini. Deskripsi tempat yang sangat detail membuat novel ini mirip dengan sebuah catatan perjalanan, seperti juga gaya tulisan Mbak Aida di novel Looking For Mr. Kim. Tapi justru inilah salah satu kelebihan tulisan Mbak Aida, yang sangat detail dan matang dalam bercerita.