Duhai
hati yang pernah terluka...
Apa
kabar dear?
Jangan
kau tanya kenapa tiba-tiba aku kembali menyapamu, karena aku tahu saat ini kau
tengah merasakan kerinduan pada sosok lelaki yang membisikimu dengan
kumandang adzan saat pertama kalinya senyummu menghiasi dunia. Ya, rindu itu
tak akan pernah bisa terobati, karena kau tak akan pernah bisa lagi bertemu
dengannya. Tapi jangan khawatir! Kau masih punya sarana untuk meniupkan rindu
itu padanya. Tentu saja melalui doa. Dan doa seorang anak yang shalih dan
shalihah-lah yang dapat menolong orangtuanya ketika sudah meninggal.
Mungkin selama ini kau masih banyak berandai-andai tentang apa-apa yang terjadi dalam kehidupanmu, temasuk berandai-andai "kalau saja Bapak masih ada.” Tapi sadarkah kau dear, kalau sikap yang berandai-andai itu justru akan menyakitimu sendiri? Dan tentu saja menyakitiku juga karena aku adalah bagian dari dirimu.
Aku
masih ingat bagaimana dulu kau menangis, kecewa, bahkan sempat merasa duniamu
akan berhenti berputar karena kau tak bisa memenuhi janji pada almarhum Bapak.
Hati kecilmu kala itu berontak melihat kenyataan yang terasa begitu
menyakitkan. Tak ada yang lebih membuatmu sakit daripada melihat wanita yang
sangat kau sayangi menikah kembali. Kau anggap dia telah melupakan Bapak, karena
selang tiga tahun dari meninggalnya Bapak, dia kembali menemukan cinta lain
yang tak pernah kau perkirakan sebelumnya. Sebenarnya bukan masalah pernikahan
itu, tapi yang menjadi masalah terbesar adalah ketika pilihan itu jatuh pada
orang yang tidak tepat.
Dear,
kau juga ingat kan kalau kau sudah berusaha untuk mencegah pernikahan itu? Kau
berusaha melobi hati orang-orang yang dekat dengan Ibu agar mereka mendukungmu
untuk mencegah pernikahan itu. Tapi nyatanya, justru kau yang tersudut. Usul
dan pendapatmu hanya terabaikan karena dianggapnya kau masih anak ingusan. Dan
akhirnya, pernikahan itu terjadi juga.
Masih kuingat betul wajahmu yang merah menahan marah, saat Ibu
akhirnya terbeli dengan kalimat ijab qabul yang terucap dari mulut seorang
mualaf. Rupanya status mualaf itu hanya menjadi alat untuk bisa mengesahkan
pernikahan mereka. Lebih tepatnya mengelabuhimu yang notabene satu-satunya orang yang menentang pernikahan beda keyakinan itu.
Sepulangnya
dari KUA, kau menangis sejadi-jadinya. Kau protes Allah yang kau anggap tidak
adil. Rupanya kau lupa kalau Allah-lah yang memiliki peran penting dalam
mengatur semua skenario ini.
Tak
bisa dipungkiri, hidupmu sangat terpuruk pasca pernikahan mereka. Hubunganmu
dengan ibu merenggang bagai ikatan yang tak lagi tersimpul. Padahal sebelumnya,
ibulah satu-satunya orang terdekat denganmu setelah Bapak meninggal. Cemburumu
meruak. Kau begitu takut kehilangan kasih sayang Ibu. Kau takut posisimu
tergantikan di hati Ibu. Kau takut hubungan darahmu dengan Ibu terputus akibat
pernikahan itu. Sesungguhnya bukan semata hanya karena itu. Ketakutan
terbesarmu adalah kalau sampai Ibu mengikuti apa yang menjadi keyakinan
lelaki-nya kini. Dan nyatanya, ketakutanmu itu perlahan terjadi. Tak lagi kau
dapati Ibu yang sembahyang dengan mukena putihnya. Meski kini hubunganmu dengan
Ibu dan lelaki itu sudah membaik, tapi itu tak cukup mampu membuat Ibu kembali
pada akidahnya yang dulu.
Bukan
tanpa usaha, tapi rupanya dakwah kecilmu tidak sampai di hati Ibu. Move on,
dear! Kau masih punya Allah. Mintalah pada Allah agar Dia menunjukkan
keajaibanNya. Aku tahu kalau kalimat “Lakum dinukum waliyadin” itu sangat
menyakiti hatimu, karena dari kalimat itulah kau sadar bahwa doamu tak akan
pernah sampai pada Ibu karena ada sekat yang menghalanginya. Allah pun tak akan memperkenankanmu untuk berdoa memohon ampunan dan rahmat Allah, kecuali bila doa itu sebatas doa agar Allah berkenan memberikan hidayah dan petunjukNya selagi Ibu masih ada
di dunia ini.
Jangan
kau anggap dirimu bodoh karena kau tak bisa menjaga Ibu untuk Bapak! Itu sama
saja dengan kau tak bisa menghargai diri sendiri. Kau sudah berusaha, dear.
Tapi hanya saja Allah belum berkenan membuka kembali hati Ibu. Move on dan
jangan sekalipun menyerah untuk berdakwah! Pasrahkan semua pada Allah yang Maha
membolak-balikkan hati hamba-Nya. Hanya Dia yang berhak melakukan semua itu.
Mungkin
cara terbaik untuk tetap menghormati Ibu adalah dengan tetap berbuat baik
padanya. Bagaimanapun agama kita menganjurkan itu. Semoga dengan
kebaikan-kebaikan kecilmu, hati Ibu akan kembali terbuka.
Dear, aku senang karena pada akhirnya kau bisa berdamai dengan keadaan, meski pada kenyataannya sedihnya hati hanya kau yang merasakan. Kau tetap menunjukkan bakti itu pada Ibu meski kini kalian berbeda jalan. Jangan sedih, dear! Tetap berdoa... berdoa... dan berdoa agar Allah turun tangan sendiri untuk menyelesaikan masalah ini. Tak ada yang boleh berhenti atas ujian ini. Bangkit dan tetaplah berjalan, sembari mengiringi langkah dengan doa yang tak terputus untuk kebaikan kita bersama. Percayalah, Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hambaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar