Kamis, 02 Mei 2013

Biarkan Allah yang Turun Tangan


Duhai hati yang pernah terluka...
Apa kabar dear?

Jangan kau tanya kenapa tiba-tiba aku kembali menyapamu, karena aku tahu saat ini kau tengah merasakan kerinduan pada sosok lelaki yang membisikimu dengan kumandang adzan saat pertama kalinya senyummu menghiasi dunia. Ya, rindu itu tak akan pernah bisa terobati, karena kau tak akan pernah bisa lagi bertemu dengannya. Tapi jangan khawatir! Kau masih punya sarana untuk meniupkan rindu itu padanya. Tentu saja melalui doa. Dan doa seorang anak yang shalih dan shalihah-lah yang dapat menolong orangtuanya ketika sudah meninggal.

Mungkin selama ini kau masih banyak berandai-andai tentang apa-apa yang terjadi dalam kehidupanmu, temasuk berandai-andai "kalau saja Bapak masih ada.” Tapi sadarkah kau dear, kalau sikap yang berandai-andai itu justru akan menyakitimu sendiri? Dan tentu saja menyakitiku juga karena aku adalah bagian dari dirimu.

Aku masih ingat bagaimana dulu kau menangis, kecewa, bahkan sempat merasa duniamu akan berhenti berputar karena kau tak bisa memenuhi janji pada almarhum Bapak. Hati kecilmu kala itu berontak melihat kenyataan yang terasa begitu menyakitkan. Tak ada yang lebih membuatmu sakit daripada melihat wanita yang sangat kau sayangi menikah kembali. Kau anggap dia telah melupakan Bapak, karena selang tiga tahun dari meninggalnya Bapak, dia kembali menemukan cinta lain yang tak pernah kau perkirakan sebelumnya. Sebenarnya bukan masalah pernikahan itu, tapi yang menjadi masalah terbesar adalah ketika pilihan itu jatuh pada orang yang tidak tepat.

Dear, kau juga ingat kan kalau kau sudah berusaha untuk mencegah pernikahan itu? Kau berusaha melobi hati orang-orang yang dekat dengan Ibu agar mereka mendukungmu untuk mencegah pernikahan itu. Tapi nyatanya, justru kau yang tersudut. Usul dan pendapatmu hanya terabaikan karena dianggapnya kau masih anak ingusan. Dan akhirnya, pernikahan itu terjadi juga. 

Masih kuingat betul wajahmu yang merah menahan marah, saat Ibu akhirnya terbeli dengan kalimat ijab qabul yang terucap dari mulut seorang mualaf. Rupanya status mualaf itu hanya menjadi alat untuk bisa mengesahkan pernikahan mereka. Lebih tepatnya mengelabuhimu yang notabene satu-satunya orang yang menentang pernikahan beda keyakinan itu.

Sepulangnya dari KUA, kau menangis sejadi-jadinya. Kau protes Allah yang kau anggap tidak adil. Rupanya kau lupa kalau Allah-lah yang memiliki peran penting dalam mengatur semua skenario ini.

Tak bisa dipungkiri, hidupmu sangat terpuruk pasca pernikahan mereka. Hubunganmu dengan ibu merenggang bagai ikatan yang tak lagi tersimpul. Padahal sebelumnya, ibulah satu-satunya orang terdekat denganmu setelah Bapak meninggal. Cemburumu meruak. Kau begitu takut kehilangan kasih sayang Ibu. Kau takut posisimu tergantikan di hati Ibu. Kau takut hubungan darahmu dengan Ibu terputus akibat pernikahan itu. Sesungguhnya bukan semata hanya karena itu. Ketakutan terbesarmu adalah kalau sampai Ibu mengikuti apa yang menjadi keyakinan lelaki-nya kini. Dan nyatanya, ketakutanmu itu perlahan terjadi. Tak lagi kau dapati Ibu yang sembahyang dengan mukena putihnya. Meski kini hubunganmu dengan Ibu dan lelaki itu sudah membaik, tapi itu tak cukup mampu membuat Ibu kembali pada akidahnya yang dulu.

Bukan tanpa usaha, tapi rupanya dakwah kecilmu tidak sampai di hati Ibu. Move on, dear! Kau masih punya Allah. Mintalah pada Allah agar Dia menunjukkan keajaibanNya. Aku tahu kalau kalimat “Lakum dinukum waliyadin” itu sangat menyakiti hatimu, karena dari kalimat itulah kau sadar bahwa doamu tak akan pernah sampai pada Ibu karena ada sekat yang menghalanginya. Allah pun tak akan memperkenankanmu untuk berdoa memohon ampunan dan rahmat Allah,  kecuali bila doa itu sebatas doa agar Allah berkenan memberikan hidayah dan petunjukNya selagi Ibu masih ada di dunia ini.

Jangan kau anggap dirimu bodoh karena kau tak bisa menjaga Ibu untuk Bapak! Itu sama saja dengan kau tak bisa menghargai diri sendiri. Kau sudah berusaha, dear. Tapi hanya saja Allah belum berkenan membuka kembali hati Ibu. Move on dan jangan sekalipun menyerah untuk berdakwah! Pasrahkan semua pada Allah yang Maha membolak-balikkan hati hamba-Nya. Hanya Dia yang berhak melakukan semua itu.
Mungkin cara terbaik untuk tetap menghormati Ibu adalah dengan tetap berbuat baik padanya. Bagaimanapun agama kita menganjurkan itu. Semoga dengan kebaikan-kebaikan kecilmu, hati Ibu akan kembali terbuka. 

Dear, aku senang karena pada akhirnya kau bisa berdamai dengan keadaan, meski pada kenyataannya sedihnya hati hanya kau yang merasakan. Kau tetap menunjukkan bakti itu pada Ibu meski kini kalian berbeda jalan. Jangan sedih, dear! Tetap berdoa... berdoa... dan berdoa agar Allah turun tangan sendiri untuk menyelesaikan masalah ini. Tak ada yang boleh berhenti atas ujian ini. Bangkit dan tetaplah berjalan, sembari mengiringi langkah dengan doa yang tak terputus untuk kebaikan kita bersama. Percayalah, Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hambaNya.



*Tulisan ini diikutkan dalam "GA-KETIKA CINTA HARUS PERGI"
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar