Jika Maudy Ayunda punya perahu kertas,
maka aku punya burung
kertas yang bisa mengantarkan rindu ini padamu.
***
“Re, ayo lipat kertas-kertas ini lagi!”
Aku menggerutu. “Sampai kapan kau akan bermain dengan
burung-burung kertas ini, Jo?”
Jovanka mendekatiku, “Sampai aku mendapatkan jumlah yang aku
inginkan,” bisiknya tepat di dekat telingaku.
“Iya, tapi berapa lagi?”
“Sampai genap seribu burung kertas.”
Braaak!
Kulempar kertas-kertas berwarna-warni itu tepat di hadapan
Jovanka. Kedua mata bulat itu membelalak tak percaya atas apa yang baru saja
aku lakukan.
“Maaf Jo, aku sudah
bukan anak-anak lagi yang suka bermain dengan burung kertas.”
Jovanka menatapku dalam. Kulihat genangan air mulai
membayang di kedua matanya. Aku sudah muak dengan keterpaksaan
mengikuti semua kemauannya. Kutinggalkan Jovanka yang kian
tergugu dalam tangis.
Sejak kejadian itu, aku sengaja tak mengunjungi Jovanka. Kuharap dia sadar akan sifat kekanak-kanakannya. Bukankah membuat burung-burung kertas itu hanya akan membuang waktu? Apalagi bila harus seribu burung. Bukankah masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan selain membuat burung kertas? Sungguh, aku tak habis pikir dengan sikap Jovanka selama ini.
*
Senja yang memerah. Sudut restoran ini tiba-tiba menjadi
rame, tak seperti biasanya. Kulihat puluhan anak berkumpul di bawah stage yang
bertuliskan "Seribu burung kertas untukmu, pelitaku”.
Membaca deretan kalimat itu membuatku tiba-tiba mengingat
Jovanka. Gila! Ternyata ada juga orang yang suka berbuat konyol seperti
Jovanka. Membuat burung kertas dan membagi-bagikannya. Namun rasa penasaran ini
akhirnya membuatku lebih mendekat dan melihat sosok gadis ‘pemberi burung
kertas’.
“Jo?” sapaku tak percaya.
Gadis yang kupanggil ‘Jo’ itu menoleh. Ia kembangkan senyum
manis yang sudah beberapa minggu tak kulihat. Ia memberiku isyarat dengan
tangannya agar aku menunggunya di kursi yang tak jauh dari stage-nya berdiri
sekarang. Tangannya masih sibuk dengan burung-burung kertas warna-warni yang
kini berpindah tangan kepada puluhan anak kecil itu.
“Hemmm, finish. Aku bahagia sudah bisa melakukannya, Re!”
ucapnya sembari menarik kursi yang ada di depanku.
“Mereka...?”
“Mereka anak-anak penderita leukimia. Tak banyak yang bisa
mereka lakukan karena sakit yang harus mereka derita. Aku berharap
burung-burung kertas itu bisa menghibur mereka agar lupa terhadap sakitnya,”
tutur Jovanka panjang lebar.
Kuperhatikan satu per satu anak-anak yang tampak bahagia
dengan burung kertasnya. Ada yang memutar-mutarnya di atas kepala, ada yang
mencoba melipat-lipat kertas untuk membentuk burung yang serupa. Dan memang,
bahagia itu terlihat jelas di mata mereka.
“Tapi, kenapa kau yakin burung-burung kertas itu bisa
membuat mereka lupa akan sakitnya?”
“Karena aku sudah membuktikannya, Re!” Jovanka mengatakan itu
dengan sangat tenang.
Dahiku berkerinyut, “Maksudmu?”
“Karena aku sama seperti mereka. Aku juga penderita
leukimia.”
Deg! Terasa ada palu yang menghantam dadaku.
Jadi selama ini Jovanka sakit? Tapi kenapa dia tidak pernah
cerita? Tuhan, betapa bodohnya aku! Aku orang yang dekat dengannya, tapi tak
pernah sedikit pun aku tahu kalau Jovanka menderita sakit yang kapan saja bisa
merenggut nyawanya.
Dan nyatanya, pertemuanku dengan Jovanka kala itu adalah
pertemuan terakhir sebelum dia benar-benar terbang bersama burung-burung
kertasnya....
bagus ceritanya :) aku juga suka burung kertas :)
BalasHapusbagus ceritanya :) aku juga suka burung kertas :)
BalasHapus