Hujan
turun kian mengganas. Percikannya bagai duri-duri tajam yang menghujam ke
seluruh tubuh. Alex tetap terpaku di tempatnya berdiri, meski gigil mulai
dirasakannya.
“Tunggu
aku setengah jam lagi!” begitu pinta Tania, yang lantas membuat Alex tak mau
beranjak. Khawatir si gadis akan kecewa bila tak menemukannya di tempat yang
sudah mereka sepakati.
“Jangankan
setengah jam, setengah abad pun aku rela menunggumu,” kelakar Alex saat
itu. Tania tertawa renyah di ujung telepon.
Tapi
nyatanya, setengah jam telah berlalu. Batang hidung Tania belum juga
muncul. Alex mulai resah.
“Begini rasanya menunggu setengah jam, bagaimana bila beneran setengah abad?” gerutu Alex menyadari kebodohan dari ucapannya sendiri.
Jika bukan demi Tania, anak bos-nya itu, mungkin Alex sudah menyingkir jauh-jauh sebelum air hujan benar-benar membuatnya hampir mati kedinginan. Nafasnya mulai sesak. Bibirnya mulai biru kaku. Asmanya kambuh.
“Tania...
Tania... kamu dimana?”
Sementara
itu, di depannya melintas sebuah sedan silver yang sempat memercikkan air ke
tubuh Alex saat melewati sebuah kubangan.
“Maafkan
aku Lex, seharusnya Pak Min yang mengantarkanku ke tempat kursus, bukan Papa,”
batin seorang gadis yang tengah duduk di samping kursi kemudi. Ia tak perlu
turun dari mobilnya, atau Papanya akan mendamprat lelaki yang dicintainya itu
habis-habisan.
Hhhh... pak bos... pak bos...
BalasHapusRestui kami *eh :D
Hihihi... pak bosnya masih memperhitungkan bibit, bebet, bobot. :D
Hapuswakakaka.. pak bos ini bener mbak.. bibit bebet sama bobo sangat penting ahahha
HapusSalah nunggu itu :D
BalasHapusSalah perkiraan, Tania pikir yang mau antar Pak sopirnya, ternyata malah Papanya sendiri. kalau pak sopirnya kan bisa dikibulin, hahaha *kok jadi aku yang berasa jadi Tania* :D
Hapuskasian kali si Alex
BalasHapushihihi... Nasib mencintai anak si Bos
Hapusbegitu lah nasib orang yang mencintai anak bosnya,,hhe
BalasHapusCinta terhalang status...sing sabar ^^
BalasHapus