Jumat, 20 Januari 2012

Cinta Untuk Nindy


     Pesonamu masih seperti dulu. Menyita sebagian ruang di hatiku hanya untuk menyimpan namamu. Nama yang telah terpahat dalam dengan tinta cinta. Tak pernah kuduga jika pertemuan yang tak sengaja itu akan terus menyisakan rasa yang membuatku untuk selalu bisa bersamamu. Menemanimu di sisa hidupku. Ya, itulah janjiku.

     Sebulan, dua bulan, hingga dua belas purnama kita lewati bersama. Membuat kita semakin terbuai akan indahnya cinta. “Aku dan kamu akan bersama” setidaknya itulah yang menjadi keyakinanku, hingga aku pun menjaga setiaku yang selalu kujunjung tinggi.


    
Namun kita lupa, bukankah manusia hanya mampu berencana? Kita lupa ada Tuhan sang penentu segalanya. Ada satu hal yang membuat senyummu tak lagi terkembang. Wajah ayumu tak lagi menampakkan keceriaan sebagaimana hari-hari biasanya saat kita habiskan waktu bersama.


     “Ada apa Nin? Apa ada masalah?” tanyaku yang melihatmu muram. Kau terdiam. Tetap terdiam hingga sedetik kemudian mengalir bulir bening dari kedua sudut matamu.

    “Nin, ceritalah!” kuangkat dagumu. Mata kita saling bertatap. Sungguh, aku tak kuasa melihat kekasih hatiku melelehkan air mata. Kau pun menghambur ke pelukku masih dengan terisak. Kubiarkan kau tuntaskan sesak yang membebani dadamu.


     “Maafkan aku mas... rasanya kita tak mungkin bisa bersama” katamu lirih di sela tangis.

Itulah terakhir kalinya kita bertemu. Ada beribu tanya yang memutari otakku. Tak ada kejelasan yang mampu menjawab tanya di hatiku. Apalagi setelahnya, kau terkesan menghindariku. Tak pernah mau menemuiku.

     Kini kau kembali. Nindyku datang ke rumah. Wajahmu tetap ayu dengan lesung pipi yang tetap seperti candu. Aku tahu kau akan tinggal di rumah ini. Aku pun akan lebih puas memandang wajahmu. Namun aku sadar, akan ada rasa yang terpenjara. Bagaimanapun aku tak boleh mengumbar rasa ini. Aku cukup tahu posisiku, meski kuyakin di hatimu posisiku tetap sama. Semua dapat kulihat dari tatap matamu. Tapi entah mengapa, keadaan menjadi kaku. Hening dan bisu saat bertemu.


     “Kamu ga pergi kan Ton? Papa dan Mama akan pergi keluar sebentar. Tolong jaga rumah ya?” perintah Papa.


     Aku hanya mengangguk pelan. Hatiku teriris sakit ketika kulihat Papa menggamit pinggangmu.

Nindy, kini kau tahu.. cintaku menjadi tak biasa lagi ketika kau putuskan untuk menjadi ibuku. Dan untuk Papa.. “Maaf, aku mencintai istrimu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar