Kamis, 09 Februari 2012

Penyesalan

 
Jika ego kutinggikan dan tetap mempertahankan “rasa” ini, entah siapa pasti akan ada yang tersakiti. Hati.. Oh, hati.. endapkan  “rasa” ini di pojok ruangmu.

*****

Kupandangi wajah ayu yang kini ada di depanku. Gurat-gurat kecantikannya tak melebur meski waktu membawanya ke angka berkepala empat. Tetap anggun dan menarik.


“Wajahmu masih seperti dulu” ucapku masih sambil terus memandangnya.

“Bukankah usia akan tetap membuat kita berubah, Dan?” tanyanya tanpa menghiraukan kata-kataku.
 
“Tapi bagiku, kau tetap sama. Bahkan posisimu di hatiku pun tetap sama” sanggahku.
 
Dia memalingkan wajahnya. Memandang pada dua sosok remaja yang sedang asyik mengobrol di taman. Hening menyelimuti kebersamaan ini.
 
“Aku menyesal Ras, seharusnya dulu aku bisa mempertahankan kamu di depan orang tuaku. Bukan malah menuruti apa yang mereka inginkan dan menyakiti hati kamu. Maafkan aku, Ras!”
 
Laras terdiam. Bibirnya tetap mengunci seakan enggan membahas persoalan yang sudah dianggapnya selesai. Namun tidak demikian dengan aku.
 
Entah mengapa bayang-bayang masa lalu kembali memutari otakku. Rasa bersalah inilah yang membuatku mencari keberadaan Laras agar aku bisa menebusnya. Kini setelah aku berhasil menemukannya, aku tak mau lagi kehilangannya.
 
“Kita sudah dewasa Dan, bahkan bisa dibilang tua. Rasa-rasanya tak pantas lagi kita membahas masa lalu yang memang sudah berakhir” jawabnya datar.
 
Aku tahu Laras cukup kecewa dengan sikapku. Baginya mungkin semua ini terlambat. Tapi apa salah jika kukatakan kalau cinta ini masih teratasnamakan dia? Walau kami pernah sama-sama menikah dengan orang yang berbeda.
 
“Ras, aku hanya ingin menghabiskan sisa umurku bersamamu. Menua pun bersamamu. Kita awali kehidupan kita dengan yang baru. Kamu mau kan, Ras? Biarkan aku menebus kesalahanku” kugenggam lembut tangannya. Aku mencoba memohon padanya. Aku yakin di hatinya pun masih ada cinta untukku.
 
“Maaf, Dan.. aku tak bisa” jawabnya sambil menarik kembali tangannya.
 
Aku tercengang tak percaya. Bagaimana bisa Laras berkata seperti itu? Bukankah sekarang kami sama-sama sendiri?
 
“Tapi mengapa, Ras? Bukankah kamu juga masih mencintaiku?” kataku yakin.
 
“Kamu tahu kalau cintaku sampai kapan pun tak akan berubah, Dan... Tapi keadaanlah yang sudah mengubahnya. Sanggupkah kita mempertahankan ego kalau akhirnya akan ada hati yang terluka? Lihatlah mereka, Dan! Sanggupkah kamu memisahkan mereka?”  Pandanganku mengikuti ke mana arah Laras menunjuk. Aku seketika terdiam. Lidahku kelu.
 
“Kamu benar, Ras.. kita tak berhak memisahkan mereka” jawabku sambil menatap pada sepasang remaja yang masih duduk di taman. Bagaimanapun aku tak ingin apa yang dulu terjadi padaku dan Laras, terjadi pada anak-anak kami. Bukankah dua insan yang saling mencinta tak seharusnya dipisahkan?

4 komentar: