Selasa, 24 Juli 2012

Bukan Badut Biasa



     Kuamati jam dinding yang terus berdetak. Jarum pendeknya hampir menyentuh angka tujuh. Hatiku mulai cemas. Tidak biasanya Ibu pulang selarut ini. Konsentrasiku untuk belajar buyar seketika. Sementara itu suara guntur mulai menggelegar menandakan kalau sebentar lagi hujan akan turun dengan deras.

     “Ya Allah.. lindungilah di mana Ibu berada,” lirih kuucap sebaris kalimat doa untuk Ibu yang sekarang entah di mana. Sungguh, aku tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Ibu.

     Aku pernah merasakan bagaimana pedihnya kehilangan seseorang yang sangat kusayangi. Dua tahun yang lalu, Ayah pulang tinggal nama. Tabrakan maut di jalur tengkorak telah melayangkan nyawanya. Dan jika sekarang aku harus kehilangan Ibu, aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Ah, tak pantas rasanya aku berpikiran yang tidak-tidak seperti itu. Boleh jadi Ibu sedang berteduh atau istirahat di suatu tempat ketika kakinya mulai letih melangkah pulang.

     Ibu adalah wanita yang pernah kubenci. Bukan karena tabiatnya yang keras atau tangannya yang ringan memukulku. Tidak! Bukan karena semua itu. Bahkan tak pernah sekalipun Ibu membentakku dengan nada kasar. Aku membencinya, karena aku merasa Ibu sangat memalukan. 

     Semenjak Ayah meninggal, ibulah yang menggantikan posisi Ayah sebagai tulang punggung keluarga. Mencari nafkah dan membiayai sekolahku. Namun tak pernah sekalipun aku melihat pekerjaan Ibu yang sesungguhnya. Hingga satu waktu, mataku terbelalak kecewa melihat pekerjaan Ibu yang menurutku sungguh memalukan. 

     “Ibu? Mengapa pakai pakaian seperti ini?” tanyaku pada Ibu yang tengah menyandarkan tubuhnya di bawah pohon asam. Di tangannya tergenggam beberapa keping uang receh yang tengah dihitungnya.

     Ibu tersentak melihat aku memergokinya. Kostum badut berperut gendut itu membuat Ibu kepayahan berdiri.

     “Nina, kok kamu ada di sini?” tanya Ibu gugup.

     “Seharusnya aku yang bertanya pada Ibu. Jadi ini pekerjaan Ibu selama ini? Ibu menjadi badut keliling?”

     Tak kudengar jawaban dari Ibu. Yang ada hanya sebuah anggukan halus yang tertangkap oleh mataku.

     “Aku malu, Bu. Malu!” kutatap tajam mata iIu. Ibu hanya menunduk menyembunyikan genangan air mata yang sebentar lagi akan menyeruak keluar. Setelahnya, tak kupedulikan lagi teriakan Ibu yang memanggil-manggil namaku. Semenjak itulah hubunganku dengan Ibu memburuk.

***

     “Nin, Ibu kamu wanita hebat,” sapa Wiwik begitu dia duduk di sampingku.

     Seketika keningku mengernyit, “Hebat apanya? Ibuku hanya seorang...”

     Aku tak meneruskan kata-kataku. Kalimat itu kubiarkan menggantung begitu saja. Namun dengan cepat Wiwik segera menyahutnya, “Seorang badut maksud kamu? Kenapa jika memang ibu kamu seorang badut? Kamu malu?”

     Lagi-lagi aku terdiam. Wiwik segera menghadapkan tubuhku ke arahnya.

     “Ibu kamu wanita hebat, Nin. Kemarin dia sudah menyelamatkan adikku. Kalau tak ada ibumu, mungkin saja adikku sudah tertabrak pengendara sepeda motor yang ngebut ugal-ugalan. Jika orang lain saja bisa menghormatinya, bagaimana mungkin kamu yang justru anaknya malu mengakuinya?”

     “Menjadi seorang badut bukanlah pekerjaan yang memalukan, Nin.” Tanpa mendengar komentarku, Wiwik segera beranjak dari duduknya.

     Entah mengapa mendengar kalimat-kalimat yang meluncur dari bibir Wiwik membuat hatiku tersentak sadar. Ke mana aku selama ini? Mengapa aku bisa begitu membenci Ibu hanya karena dia menjadi badut? Karena malu-kah? Seharusnya aku malu menjadi anak yang durhaka seperti ini. Malu menjadi anak dari seorang wanita mulia seperti Ibu. Ah, Ibu.. maafkan anakmu ini.

     Dengan bulat hati, kuniatkan untuk meminta maaf pada Ibu. Aku tak ingin terus-terusan menyakiti hati Ibu. Tak pantas rasanya seorang anak yang sudah dikandung dengan susah payah membenci wanita yang telah mengandungnya. 

     Hujan turun dengan derasnya. Belum juga kudengar ketukan dari arah pintu. Aku mondar-mandir membuka tirai yang menutupi jendela kayu di rumahku, berharap mataku menemukan sosok Ibu dalam rinai hujan. 

     Belum juga semenit aku terduduk, telingaku menangkap suara ketukan. Setengah berlari aku menuju ke arah pintu dan segera membukanya. Kulihat raga Ibu yang basah. Wajah lelahnya masih saja menyunggingkan senyum. Tanpa banyak kata, segera kupeluk tubuh Ibu yang kurus.

     “Ibu, maafkan Nina..”

     Ibu terdiam. Hanya saja, dengan lembut tangannya mengusap kepalaku. Dari semua itu cukuplah kutahu kalau Ibu sangat menyayangiku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar