Jumat, 05 Oktober 2012

Kembalilah, Rana....


Kupandangi tubuhnya yang kini terbujur kaku. Aku tak tahu harus berbuat apalagi untuk membangunkannya. Aku tak percaya! Rasa-rasanya baru kemarin kami saling berdebat argumen, seperti biasanya. Dan selalu saja dia yang mengalah demi memenangkanku.
Rana adalah sosok saudara yang begitu perhatian. Kasih sayangnya padaku tak diragukan lagi. Seringkali dalam hati sebenarnya aku mengakui kebaikan-kebaikan Rana padaku. Tapi sayangnya, aku terlalu egois untuk mau mengakuinya sebagai saudara – meski wajah dan fisik kami sama. Ya, kami berdua memang kembar. Tak ada yang bisa membedakan kami yang bagai pinang dibelah dua ini. Dari potongan rambut, cara berdandan, berpakaian, bahkan cara berjalan kami pun sama. Tapi jika dilihat secara teliti, Rana memiliki sebuah tahi lalat di bawah dagu yang tidak kumiliki. Tentu saja perbedaan lainnya adalah sifat kami. Meski kami kembar, tapi aku dan Rana bagaikan air dan minyak yang tak pernah bisa menyatu. Semua ini karena rasa benci dan iriku pada Rana. Mengapa seolah-olah Dewi Fortuna hanya memayungi Rana, tapi tidak padaku. Hingga aku pun selalu hidup sebagai bayang-bayang Rana.

Rumah sepi. Papa dan Mama yang sedang pergi keluar kota sangat memberikan kesempatan padaku. Untuk sementara aku bisa bermain-main dengan Rana. Saat Rana mandi, kukunci pintu kamar mandinya dari luar. Tak kupedulikan ketukan panik dari Rana. Tak kuhiraukan teriakan-teriakan histeris dari mulutnya. Aku justru semakin tertantang untuk menguji ketahanan tubuhnya terhadap udara dingin. Aku tahu selama ini Rana selalu alergi terhadap udara dingin. Kalau dingin sedikit saja, Rana lantas terbatuk-batuk. Aku mau tahu seberapa sanggup dia bertahan di dalam kamar mandi yang sempit, dingin dan basah itu. Sepintas, ide gilaku muncul.
Sebuah panggilan di telepon Rana menyadarkanku kalau itu panggilan dari Arya, kekasihnya. Pasti mereka mau pergi. Aku muak! Seperti biasanya, jika Rana pergi dengan Arya, aku yang selalu menjadi penjaga rumah. Mirip anjing heder saja. Kali ini tak akan kubiarkan itu terjadi. Aku ingin bertukar posisi dengan Rana.
Kupatuti diriku di depan cermin. Kupakai pakaian yang biasa dikenakan oleh Rana. Aku pun belajar gaya bicara Rana agar Arya tak menyadari penyamaranku. Ya, meski agak sulit karena Rana adalah gadis yang bertutur kata lemah lembut seperti Dewi Sumbadra, sedangkan aku mungkin lebih mirip dengan Betari Durga. Sifat kami berdua memang sangat bertolak belakang. Tapi setidaknya kali ini biarkan aku menjajal aktingku bermain teater.
Ting tong... suara bel pintu berbunyi. Itu pasti Arya. Lagi, kupastikan bahwa Arya tak akan mengenali penyamaranku. Celana jeans biru, kaos putih polos yang dipadu dengan cardigan warna gray cukup membuat penampilanku sempurna mirip dengan Rana. Kubiarkan saja rambutku tergerai seperti apa yang sering Rana lakukan.
“Rani, tolong buka pintunya!” kudengarkan teriakan Rana untuk kesekian kalinya. Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. Percuma saja, aku tetap tak akan membukakan pintu untuknya.
Kutempelkan mulutku sangat dekat ke pintu kamar mandi, “Sabar darl, kamu di situ aja dulu. Aku mau pinjam pangeranmu dulu untuk bersenang-senang, haha!”
“Jangan, Ran! Please...”
Aku melenggang tanpa menghiraukan lagi Rana yang terus-terusan berteriak sambil menggedor-gedor pintu.
Aku segera berlari membuka pintu depan. Di sana sudah menunggu pangeran Rana yang sebentar lagi akan menjadi pangeranku. Sudah lama sebenarnya aku menyukai Arya. Senyumnya begitu memikat hatiku. Tapi Rana sangat pelit. Dia tak pernah mau meminjamkan pangerannya barang sebentar padaku.
Arya adalah tipe cowok yang banyak digandrungi para gadis. Tubuhnya yang atletis dengan wajah putih oriental membuat siapa saja yang memandangnya akan terpana. Ah, beruntung sekali kamu, Rana.
Arya mengecup pipiku dengan hangat. Sepertinya dia memang tidak menyadari siapa aku sebenarnya. Buktinya, tangannya yang berotot itu merangkul erat pinggangku sebelum akhirnya kami masuk ke dalam mobilnya dan bersenang-senang malam ini.
Sukses. Aku sangat bahagia. Akhirnya aku bisa bertukar posisi dengan Rana tanpa ada yang curiga. Semua ini membuatku menjadi ketagihan. Begitu Arya mengantarkanku pulang, seketika aku langsung menuju ke kamar mandi karena ingat Rana yang kutinggalkan sejak lima jam lalu.
Kutempelkan telingaku di pintu kamar mandi. Hening. Mungkin Rana tertidur karena lelah berteriak-teriak, pikirku.
Klek! Segera kubuka pintu kamar mandi. Kudekati Rana yang tengah terduduk di lantai kamar mandi sambil melipat kaki dan memeluknya dengan kedua tangannya. “Ran, bangun!” tak ada jawaban. Kulihat bibir Rana membiru. Seluruh kulitnya menjadi pucat sepucat mayat. Jangan-jangan Rana....
“Ran, bangun Ran!” kugoncang keras tubuh kakunya. Dia tetap tak bergeming. Tubuh Rana terasa sangat dingin.
Kusentuhkan telunjukku pada lubang hidungnya. Ya Tuhan, tak ada nafas. Kembali kuyakinkan diriku dengan menempelkan telunjukku pada urat di lehernya. Tetap tak ada tanda-tanda kehidupan. Tubuhku lemas. Tiba-tiba rasa takut menderaku.
“Ran, bangun Ran!” aku mulai menangis. Aku segera menelepon ambulance untuk membawa Rana ke rumah sakit.
Kusabarkan diriku menunggu dokter dan perawat melakukan tindakan medis pada Rana. Tapi sepertinya aku salah. Dokter tak melakukan apapun. Aku yang berdiri tak jauh dari dokter dan perawat yang menangani Rana, melihat dengan jelas bagaimana tubuh Rana tak diperiksa sama sekali. Hanya saja, aku melihat mereka menutupkan selimut hingga ke wajah Rana.
“Maaf, kami tak bisa menolong,” pernyataan yang klise dari seorang dokter. Aku terdiam. Belum percaya dengan pendengaranku sendiri. Entah sejak kapan tiba-tiba aku merasa sangat kehilangan Rana.
***
Aroma bunga kamboja begitu menusuk penciuman. Kuelus lembut batu nisan yang menancap di atas tanah pemakaman yang masih basah itu. Aku bergumam sendiri layaknya orang gila. Sesekali kuusap air mata yang menyeruak dari kedua sudut mataku. Aku sangat menyesali kekonyolan yang pernah kulakukan. Akibat kekonyolan itu, akhirnya aku harus kehilangan saudara kembarku. Saudara yang selalu kuanggap sebagai rival, meski nyatanya dia begitu menyayangiku. Kini, aku benar-benar merasa sendiri. Sepi.
Andai waktu bisa kuputar kembali, tak akan pernah kujahati Rana. Tak akan pernah kuisengi dia hingga kematian menjemputnya. Aku pasti akan setia menyelimuti Rana ketika udara dingin datang, agar dia tak terbatuk-batuk akibat dingin yang menyesap tubuhnya. Akan kusayangi Rana sebagaimana dia yang selalu menyayangiku.

Rana, kembalilah....
Tanpamu hidupku bagaikan bayang semu. Setiap kali kubertatap muka dengan orang-orang, pastilah yang mereka tanyakan adalah tentangmu. Sama sekali bukan tentangku. Aku sadar Rana, mereka lebih mencintaimu daripada aku. Dan seharusnya sudah selayaknya kalau aku pun mencintaimu karena kau adalah saudara kembarku.

     Seketika sedihku memudar ketika Rana hadir dan berkata, “Rani, temani aku. Aku kesepian di sini. Aku kangen kamu, Ran!” Kuturuti saja kemana bayangnya bergerak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar