Kamis, 27 Desember 2012

Aku Kejam...???

          "Kejam kamu!!"

     Itulah reaksi pertama yang keluar dari mulut nenekku saat aku beritahu kalau lelaki kecilku sudah kusapih dari dot-nya. Aku mengernyit heran. Kejam? Kenapa? Mendapat vonis kejam seperti itu, aku merasa diriku berubah layaknya monster yang siap menelan mangsa. Ada perasaan perih yang sedikit menggores hatiku. Benarkah aku sudah kejam terhadap anakku sendiri?
     
     Kejam itu kalau aku memukuli anakku sendiri. Kejam itu kalau aku tak memberi makan pada anakku. Kejam itu kalau aku tak lagi memberikan susu setelah kusapih dari dot-nya. Dan mungkin masih banyak hal-hal lain yang bersifat menyakiti atau membuat seorang anak terluka, yang lebih pantas untuk menyandang vonis kejam. Sedangkan aku? Aku belum pernah memukul anakku (dan  semoga tidak pernah), aku juga masih rutin memberinya makan, aku pun juga masih memberikan susu pada lelaki kecilku, meski sekarang media untuk minumnya bukan lagi di dot, melainkan di gelas / cangkir. Lalu aku dikatakan kejam darimana? Bahkan dengan penyapihan dot ini, bukan berarti aku mengurangi kasih sayang kepada lelaki kecilku.
          
     Kadang kita sebagai orang tua memang harus keukeuh pada prinsip kita sendiri dalam hal mendidik anak. Bukan bermaksud mengabaikan kata-kata atau nasehat pendahulu kita, yang sering beranggapan lebih benar, tapi kita pun harus punya prinsip sendiri tanpa menyinggung perasaan mereka. Sedikit atau banyak, akan ada pertentangan prinsip yang mau tak mau akan menimbulkan vonis tertentu pada kita. Seperti kasus ini contohnya. Aku berniat baik untuk menyapih anakku dari dot kesayangannya, dengan tujuan agar di usianya yang hampir tiga tahun, dia tak lagi ketergantungan pada dot. Hal ini juga memiliki tujuan selanjutnya, karena insya Allah pada tahun ajaran baru nanti aku akan mulai mendaftarkan lelaki kecilku ke PAUD. Tapi rupanya langkahku ini justru mendapat vonis kejam dari nenek. Kalau aku pribadi, selama apa yang kulakukan demi kebaikan anak, maka aku akan mengesampingkan pendapat-pendapat yang mungkin tidak sesuai dengan prinsipku, walau tak menutup kemungkinan aku tetap mempertimbangkannya juga. Tergantung dalam hal apa dulu mereka turut campur.

     Soal minum susu dari dot, aku malah pernah mendapat saran dari seorang teman. Dia bilang kalau begitu anak disapih dari ASI, alangkah baiknya jika disapih pula dari dot-nya. Tentu saja biar tidak terjadi penyapihan yang berulang. Dan biasanya, penyapihan yang kedua ini (penyapihan dot) lebih susah daripada penyapihan pertama. Tapi karena dulu aku masih merasa kasihan pada lelaki kecilku, akhirnya aku tetap memberikan susu melalui dot. Alhamdulillah, begitu aku berniat menyapih anakku dari dot, hal ini tak menimbulkan kesulitan yang berarti. Jujur, aku tak mau apa yang terjadi pada diriku semasa kecil juga terjadi pada anakku. Ssssttt, rahasia ya! Dulu aku juga nge-dot sampai aku sekolah TK besar. Dan aku baru mau minum di gelas / cangkir begitu di sekolahan ibu guru bertanya, "Hayooo, siapa yang masih minum susu di botol?" Jelas saja aku diam, tidak berani menjawab. Malu booo! Hingga akhirnya sampai di rumah, kubuang sendiri botolku ke atas genting. Nah, aku tak ingin hal memalukan ini juga terjadi pada lelaki kecilku kelak. Jadi, say good bye aja sama dot kesayangan mulai dari sekarang.
          
     Aku kejam? Biar anakku saja yang menilai. Yang pasti untuk melakukan sebuah kebaikan, ada kalanya kita harus mengabaikan pendapat orang lain, atau kita justru batal melakukannya.
         



4 komentar: