Situasi I
Budi pulang sekolah. Dia menunjukkan hasil ulangan Matematikanya. Budi mendapatkan nilai 6.
“Ma, ini hasil ulangan Matematika Budi. Maaf Ma, Budi cuma mendapat nilai 6,″ ucap Budi takut-takut sambil menyodorkan selembar kertas kepada mamanya.
Mamanya meraih kertas itu. Alisnya berkerut. “Kamu itu ya, dari dulu sampai sekarang kok ya masih bodoh saja. Sia-sia Mama nyekolahin kamu. Soal mudah gitu aja ga bisa, malu-maluin mama saja!”
Mamanya marah. Dia lempar kertas ulangan itu ke muka Budi. Budi semakin takut. Dalam hati dia bertekad akan berlatih lebih giat lagi agar nilai ulangan Matematikanya next time bisa lebih baik.
* Situasi II
Budi pulang sekolah. Dia menunjukkan hasil ulangan Matematikanya. Budi mendapatkan nilai 8.
“Ma, ini hasil ulangan Matematika Budi. Budi seneng karena Budi berhasil mendapatkan nilai 8,″ ucap Budi dengan nada gembira. Berharap mamanya juga ikut senang atas prestasinya.
Mamanya meraih kertas itu. Alisnya berkerut. “Tumben kamu dapat nilai 8. Pasti kamu nyontek kerjaan temen yang jago Matematika, kan? Dasar anak malas.”
Budi merasa kecewa. Ternyata mamanya tak percaya pada kemampuan Budi. Mamanya menuduh Budi menyontek jawaban teman. Padahal nilai itu benar-benar Budi peroleh dari hasil kerja kerasnya sendiri.
Semangat Budi luntur. Dia tak peduli lagi apakah nilainya baik atau jelek. Toh nantinya mamanya juga akan menunjukkan reaksi yang sama. Marah.
Saat nilainya jelek, Mamanya mengatakan bahwa Budi anak yang bodoh.
Pun di saat nilainya baik, mamanya juga mencela Budi dengan mengatakan
kalau itu bukan murni hasil kerja keras Budi. Budi dibilang mencontek.
Kita pasti juga akan merasakan dilema jika berada di posisi Budi. Image
buruk yang terlanjur melekat tak kan mudah terhapus dari ingatan
seseorang. Meskipun sebenarnya dia sudah berubah. Rasa tak percaya
itulah yang pada akhirnya akan “mematikan kreatifitas” orang yang terlanjur punya image buruk tadi.
Orang yang sudah punya image buruk (dalam kasus ini Budi contohnya), pasti akan mikir begini, “Buat apa saya harus repot-repot berubah, toh pada akhirnya tak ada yang percaya dengan kemampuan saya.”
Akhirnya, ada rasa enggan, bahkan malas untuk memperbaiki diri. Dia pasti akan bersikap statis atau “diam di tempat”. Lebih suka berada di posisinya yang sekarang dan tak ada niatan untuk berubah menjadi lebih baik.
Bagaimana jika hal ini terjadi pada anak kita? Apakah kita juga akan
memarahinya saat nilainya buruk, dan menyangkal tak percaya saat
nilainya baik? Jika jawabannya adalah “iya”, bersiap-siaplah mencetak anak kita sebagai anak yang Nrimo keadaan.
Nrimo keadaan di sini dalam arti : tak mau berusaha untuk menjadi lebih
baik. Kalau mau, ya terima saja saya dalam keadaan seperti ini.
Sebenarnya tak sulit bagi kita untuk memberikan sedikit pujian.
Hitung-hitung sebagai penghargaan atas usahanya untuk berubah. Saya
yakin hal ini akan menjadi cambuk untuk selalu menjadi yang lebih baik.
Ada nilai positif dari pujian itu. Dan yang pasti tak akan mematikan
kreatifitas seseorang. Sehingga orang itu akan semakin semangat
untuk terus belajar, belajar dan belajar.
Baik dan buruk akan menjadi dua hal yang terus beriringan. Tak selamanya orang yang dulunya buruk, akan selalu menjadi buruk. Demikian juga sebaliknya. So, jangan memvonis seseorang dari satu sisi saja, tapi
lihatlah juga dari sisi lainnya. Bukankah tak ada yang sempurna di dunia ini? karena sesungguhnya
kesempurnaan itu hanyalah milik ALLAH.
Hargailah orang lain, jika kita juga ingin dihargai.
mampir lagi ya mbak, tertarik pingin baca kumpulan "ceracauku"
BalasHapussetuju mbak klo kita mau dihargai maka hargai juga orang lain dulu
setuju! *kibar bendera* :D
Hapus