Senin, 25 November 2013

Setangkai Mawar Untukmu, Sayang




 
Ia tetap merengek memintaku mencarikannya setangkai mawar. Aku sudah berusaha memenuhi pintanya, tapi sayang... tak kudapat mawar seperti yang ia minta.

“Bagaimana bila kuganti mawar yang lainnya saja?” tawarku.

Dia menggeleng.

Gila! Untuk kesekian kalinya aku harus menunda pernikahanku dengannya, karena belum kudapat bunga mawar yang ia minta.

Ia terlalu berimajinasi. Langgam yang sering didendangkan oleh rama[1]-nya ternyata sudah meracuni akal sehatnya.
... Wekasan mung welingku

Aku nitip kembang mawar biru

Openana minangka tandha katresnanku ....

Aku tak mau menyerah. Kuputar otak demi memenuhi inginnya. Kubeli setangkai mawar merah dari seorang penjaja bunga di pinggir jalan. Kini, setangkai mawar ini akan kuubah sedemikian rupa. 

Kulajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata, berharap waktuku tak terlambat. Segera kusulap mawar merahku dengan sempurna.

“Sayang, ini kan yang kau minta?” kusodorkan bunga mawar merah yang kini telah menjadi biru.

“Benarkah ini asli?”

Aku mengangguk.

“Dimana kau mendapatkannya?” tanyanya dengan mata berbinar. Tangannya erat menggenggam si mawar biru.

“Maaf, aku tak bisa mengatakannya. Tempatnya sangat jauh,” jawabku

“Oke, bila sekarang belum saatnya aku tahu. Tapi, bawa aku ke sana saat kita berbulan madu nanti. Aku ingin memetik mawar biru yang lebih banyak lagi. Ingin kujadikan rumah kita sebagai taman mawar.”

Kudengar ceracaunya kian samar. Beberapa petugas berseragam putih itu telah memaksanya kembali ke kamar. Dia meronta sembari tertawa-tawa riang memamerkan mawar biru di tangannya.

Aku terduduk lemas di pojok rumah sakit. Entah sampai kapan aku harus menunggunya sembuh dan siap menerima mawar merah saat kumeminangnya, bukan mawar biru seperti yang ia khayalkan selama ini.


[1] Rama : bapak, ayah

3 komentar: