Sabtu, 21 Januari 2012

Jangan Ambil Dia !

Kugenggam tangan Laras, wanita yang baru setahun kunikahi. Tubuhnya terbaring lemah. Matanya terpejam. Kupandangi wajahnya. Bibir merah itu kini memucat. Rambutnya tergerai tanpa jilbab menutupi. Hatiku perih menyaksikannya. Baru saja bunga-bunga indah itu bermekaran, tiba-tiba semuanya terenggut paksa saat insiden fatal itu terjadi.

“Laras, maafkan aku. Kuanggap perjodohan ini sebagai keterpaksaan. Aku tak ingin dianggap durhaka, maka kuturuti permintaan ibu untuk menikahimu” kuawali pembicaraan petang itu, ketika kami berdua di kamar pengantin.
Laras tertunduk. Kutahu perasaannya sakit mendengar pengakuanku. Sejak itu, aku tak pernah menyentuhnya.
            
 “Mas, jika memang kita tidak berjodoh di dunia ini, kuharap kita bisa berjodoh di akhirat nanti” terlihat genangan air  di matanya.

Aku terdiam. Gumpalan es di hatiku belum mencair. Hatiku terkunci. Sebenarnya Laras istri yang baik, berbakti padaku, melayani segala kebutuhanku. Baginya, perjodohan ini sudah digariskan Allah melalui kedua orang tuanya. Dan diapun ikhlas menerimanya.


Setahun kami hidup dalam kepalsuan. Di depan keluarga, kami menunjukkan sikap romantis, walau sebenarnya hatiku menangis karena kebohongan ini. Tak ada yang bisa disalahkan. Terlebih Laras. Dia sudah sangat baik padaku, meski aku tak pernah peduli perasaannya.

              
Hingga suatu saat, kurasakan hatiku bergetar ketika memandangnya dalam balutan jilbab biru muda. Dia yang sedang menyuguhkan kopi padaku tak menyadari kalau kedua mata ini memperhatikannya.

            
“Kenapa tak pernah kusadari kalau istriku memang cantik? Begitu bodohnya aku” gumamku dalam hati. Entahlah.. hatiku mulai berdesir jika memandangnya. Mungkin Allah menjawab doaku.

              
“Ya Allah.. runtuhkanlah gunung es di hatiku. Ku tak mau lagi melihat air matanya, wanita sholehah yang menjadi tulang rusukku. Buatlah hatiku mencintainya karenaMu, ya Rob” doaku suatu saat, ketika diam-diam kulihat Laras menangis.
 
“Laras, masih adakah tempat di hatimu untukku?” tanyaku sore itu. Laras yang sedang membaca buku tersentak. Ditatapnya mataku. Kulihat rona bahagia di matanya.
            
“Laras, kita perbaiki biduk rumah tangga kita, agar kita bisa membangun rumah di surgaNya” kali ini kugenggam tangannya. Dia terdiam, hanya menitikkan air mata. Kupeluk tubuhnya. Dia pun tak menolak.

           
“Eh..maaf mas.. Laras terlalu bahagia, hingga tak bisa kontrol emosi” wajahnya memerah. Kuseka bekas air matanya. Dia semakin tersipu.

              
“Emm, Laras masak dulu mas” tiba-tiba dia beranjak. Kulihat dia semakin grogi. Kurasakan hati ini tak terbebani lagi. Semua terasa “plong”. Mungkin inilah cara Allah menyatukan kami, melalui proses panjang dan menguras air mata. Kutersenyum memikirkan skenario Allah.

            
Glodaaakkk.. kudengar suara benturan di dapur. Kupanggil Laras, dia tak menyahut. Aku segera berlari ke dapur.

              
“Astaghfirulah !!” aku terpekik melihat Laras tergeletak. Kuperiksa keadaan. Tepat di bawah tubuh laras tergeletak, kulihat ada tumpahan air. Mungkin Laras terpeleset dan akhirnya terjatuh. Kubangunkan dia, tak ada reaksi. Segera kularikan dia ke rumah sakit. Ternyata Allah pun berkehendak lain. Laras koma.

             
Sudah seminggu kutunggui Laras di rumah sakit. Tak menunjukkan reaksi apapun. Dokter menyerah. Benturan keras mengakibatkan Laras gegar otak dan koma. Tak ada yang bisa dilakukan, kecuali menunggu mu’jizatNya.

             
Dalam sedihku, kuingat kata-katanya, “Mas, jika memang kita tidak berjodoh di dunia ini, kuharap kita bisa berjodoh di akhirat nanti”     

             
“Ya Allah.. jangan Kau ambil istriku !!!” kugenggam erat tangannya. Berharap Allah memberiku kesempatan untuk mereguk bahagia bersamanya.


Penulis : Ragil Kuning

Telah diterbitkan dalam buku "Dear Love"



111 Tulisan Tentang Cinta

Hidup itu cinta. Cinta itu telah lenyap seiring dengan terusirnya manusia dari firdaus. Untuk menyempurnakan kehidupannya di dunia, manusia harus menciptakan cinta, berdasar pada template Sang Mahacinta, agar hidupnya kembali hidup. Cinta itu menghidupkan hidup manusia.

Dalam sejarah hidup manusia, sampai entah kapan pun, manusia harus terus dan terus menciptakan cinta sebagai mahakarya hidupnya di dunia. Dengan mengerahkan segenap daya hidup, akal, nurani dan nafsu, manusia harus terus berusaha menciptakan cinta dalam setiap tarikan nafasnya. Inilah pangkal hidupnya di dunia. Dari dalamnya akan tumbuh buah-buah cinta, yakni segala kebaikan, semua kekuatan, atau apapun yang dapat maupun tidak dapat dipahami oleh bahasa manusia. Tak mengapa. Karena tak semua hal memang dapat dipahami. Itulah kesempurnaan hidup, kesempurnaan cinta.

Sangatlah keliru dan tertipu jadinya jika cinta itu hanya menjadi perkara hati. Karena hati adalah misteri Ilahi, ruang diskusi Sang Khalik dengan eksistensi manusia di dunia fana. Cinta merupakan hasil interaksi seluruh potensi hidup untuk mengelola seluruh kehidupannya. Tiga modal dasar, akal, nurani dan nafsu, itu mawujud dalam raga seragawinya. Interaksi di dalamnya menjadi aksi keluarannya. Aksi ini menjadi bahasa masif yang tak pernah berubah oleh jaman dan kebudayaan. Begitulah adanya cinta. Seperti cahaya, cinta itu bergerak lurus dan masuk dalam ladang quantum. Tak ada yang tuntas di dunia ini, selalu menyisakan tanda tanya. Jadi jangan pertanyakan pula tentang cinta. ikutilah iramanya dan menarilah.

Derajat cinta sejajar dengan nyawa dan iman. Ketiganya ada atau tidak ada, bukan kecil atau besar. Selalu berkomposisi dalam ruang dan waktu. Saling mengisi saling membentuk memberi arti bagi hidup dan kehidupan dunia. Nyawa, iman dan cinta selalu bergerak, seperti gerak hidup yang melingkar-lingkar. Ketika ketiganya bersinergi maka hasilnya adalah sebuah cahaya. Cahaya ilahiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar