Senin, 10 September 2012

Giveaway Novel Cinderella Syndrome, Leyla Hana

Aku adalah seorang yang suka latah jika melihat lomba-lomba keren. Apalagi jika hadiahnya sebuah buku yang tak kalah kerennya. Nah, kali ini aku mau mencoba mencari keberuntungan dengan mengikuti kuisnya Mbak Leyla Hana. Sukur-sukur nanti bisa memiliki buku Cinderella Syndrom ini secara gratis... tis... tis... *maklum, aku memang tampang gretongan* :D





Dan ini sinopsis khayalanku :

  
Erika, seorang wanita dewasa yang sukses di karier. Setiap orang yang mengenal Erika selalu menganggap dia sebagai pribadi yang sempurna. Karier yang terus melejit dari tahun ke tahun selalu menjadi tolak ukur keberhasilannya. Namun satu hal yang seolah mengurangi kesan sempurna dari Erika, yaitu jodoh. Hingga usianya menginjak 30 tahun Erika belum menikah.  Bukan karena tidak ada lelaki yang tak mau mendekati Erika, tapi karena memang Erika yang belum menginginkan sebuah ikatan pernikahan. Ada satu hal di masa lalu yang menorehkan trauma dalam diri Erika, hingga Erika enggan menjalani kehidupan pernikahan.

Lelaki kekar itu – lelaki yang seharusnya dipanggil Erika dengan sebutan Ayah – lelaki yang seharusnya menjadi pelindung Erika dan ibunya, justru lelaki itu pula yang menyebabkan trauma itu terus-terusan terekam di hati Erika. Erika kecil – sengaja atau tidak sengaja – seringkali mendapati Ayahnya memukul ibunya. Erika yang ketika itu memang belum mengerti apapun tentang persoalan orang dewasa hanya bisa merekam adegan demi adegan kekerasan itu sebagai suatu kejahatan. Tanpa dia tahu alasan sebenarnya mengapa si Ayah kerap memukuli ibunya. Erika kecil hanya bisa mengintip di balik pintu ketika ibunya tengah meringkuk dan menjerit menangis akibat pukulan dari ayahnya. Ia memang tak bisa berbuat apapun untuk menolong ibunya. Hanya saja ketika ayahnya sudah pergi, Erika lantas memeluk erat ibunya. Kadangkala Erika pula yang mengoleskan obat merah pada luka di sekujur tubuh ibunya.

Suatu ketika Erika harus mendapati kenyataan pahit kalau ibu yang dicintainya meninggalkannya di tengah malam buta. Begitu pagi menjelang, Erika baru menyadari kalau ibunya tak ada di setiap ruang di rumahnya. Erika hanya menemukan sepucuk surat yang bertuliskan tangan ibunya. Dalam surat itu ibunya meminta maaf karena telah meninggalkan Erika dan terpaksa pergi bersama seorang lelaki yang nyata-nyata lebih mencintainya. Ibunya merasa tak tahan dengan perlakuan ayah Erika selama ini.

Di usianya yang masih sangat belia, Erika menarik kesimpulan bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang menyakitkan. Akan ada korban dalam setiap pernikahan. Dalam hal ini dia memposisikan dirinya sendiri sebagai korban. Korban keegoisan dari kedua orang tuanya. Andai saja Ayahnya bukan seorang lelaki yang ringan tangan. Andai saja Ibunya mau sedikit bertahan dengan kondisi yang setiap hari dia rasakan, serta pengandai-andaian lain yang akhirnya memaksakan pemikiran Erika menjadi dewasa sebelum waktunya.
                 
      Sejak kepergian ibunya, tabiat ayah Erika mulai berubah. Ayahnya menjadi seorang pribadi yang lebih sabar, bahkan lebih perhatian terhadap Erika. Namun sayang, nasi sudah menjadi bubur. Bagaimanapun mereka memohon, ibunya tetap tak mau melanjutkan komitmen bersama ayah Erika. Justru surat permohonan cerai yang menjawab permohonan itu. Sejak itulah Erika hidup berdua bersama ayahnya dalam 'bingkai' trauma yang terus menerus dibawanya hingga dia dewasa.

Erika, seorang wanita dewasa – mencoba tegar dalam setiap langkah kehidupannya – namun siapa sangka jika di balik ketegarannya itu dia tetap membutuhkan seseorang sebagai tempat mencurahkan perasaan. Semasa kuliah hingga bekerja Erika mempunyai seorang sahabat bernama Eno. Kesamaan nasib dari keluarga yang broken home membuat keduanya bersahabat dekat. Kemana-mana selalu berdua, bahkan faktor keberuntungan pula yang membuat mereka diterima bekerja di sebuah kantor media massa yang sama. Hanya saja dari tahun ke tahun karier Erika lebih melejit daripada Eno. Meskipun demikian, hubungan keduanya tetap berjalan baik.

Semakin tinggi sebuah pohon, maka semakin kencang pula angin yang meniupnya. Begitupun dengan kehidupan Erika. Karena kedekatan Erika dan Eno inilah yang akhirnya menimbulkan sebuah prasangka mengapa di usianya yang sudah 30 tahun Erika tak jua mau menikah. Prasangka itu mengerucut pada satu dugaan, Erika dan Eno adalah pasangan lesbian.

Awalnya Erika dan Eno tak menghiraukan hembusan isu yang kadang membuat panas telinga itu. Namun karena tidak hanya satu-dua orang yang mengatakannya, akhirnya harus ada pembuktian ketidakbenaran dari gosip itu. Apalagi ayah Erika yang entah darimana mendengar gosip itu lantas menutut Erika untuk segera menikah jika memang berita tersebut tidak benar. Di saat-saat seperti inilah Erika mengenal seorang lelaki bernama Dio. Dio adalah patner kerja Erika yang baru, pindahan dari kantor cabang kota lain.

Sikap Dio yang menunjukkan sebentuk perhatian khusus pada Erika ternyata bagai gayung yang bersambut. Erika mulai membaca sinyal kalau memang ada ketertarikan di hati Dio terhadapnya. Perlahan, Erika mulai menerima setiap perhatian yang diberikan Dio sebagai suatu kebiasaan. Dari kebiasaan-kebiasaan kecil inilah yang akhirnya membuat Erika menilai bahwa Dio adalah seorang lelaki yang tepat untuknya. Sedikit demi sedikit Erika mulai menguliti trauma di hatinya akan sebuah pernikahan. Nyatanya, hati nurani Erika sebagai seorang wanita pun berbisik, “Aku membutuhkan sebuah pernikahan.“ Dan Erika menjatuhkan pilihan itu pada Dio. Dari pernikahan itu juga, Erika ingin menepis keras-keras gosip yang selama ini menimpanya. Sebuah ikatan pernikahan akan membebaskan Erika dari tuduhan sebagai seorang lesbian.
                 
      Pernikahan itu ibarat meneguk jamu, ada sensasi rasa pahit serta manis yang akan kita kecap. Bertahanlah jika kita sedang berada di sensasi ‘pahit‘ itu, dan nikmatilah jika kemudian kita mengenyam rasa ‘manisnya‘. Bukankah setiap detik waktu akan mengalami perubahan?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar