Jumat, 19 Oktober 2012

Ujian Hati





Rembulan kian meredup. Sinarnya yang menerobos genting kaca tak mampu menerangi seluruh ruangan yang memang sengaja kumatikan lampunya. Kupandangi bergantian kau dan lelaki kecilku yang terlelap. Satu kecupan mendarat di kening lelaki kecilku. Dia menggeliat, lalu kembali terlelap. Sedangkan kau, masih sama seperti biasa, sibuk dengan dengkuranmu. Kuberanjak pelan turun dari pembaringan, berharap kau dan lelaki kecilku tak menyadari kalau aku mengendap pelan meninggalkan kalian dalam lelap. Selama ini aku merasa asing dalam duniaku sendiri, semua karena keterpaksaan yang mengikat hatiku. Benarkah ucapmu kala itu? Yang kau bilang aku akan menemukan cinta ini seiring berjalannya waktu. Tapi nyatanya, hingga kini tak pernah hadir cinta itu di hatiku. Keadaan kian menyiksa ketika aku biarkan cinta yang sengaja kau tumbuhkan, layu begitu saja tanpa pernah kucoba mempertahankannya.

Aku tergugu di kamar tamu yang juga berkeadaan gelap. Hanya sinar dari ponsel-lah yang membantu pupil mataku menangkap cahaya. Kuraih tas berisi beberapa lembar baju yang sudah kusiapkan sehari sebelumnya. Percakapan dengan seseorang di masa laluku telah meracuni pikiranku. “Kita kabur, Na! Beri aku kesempatan membahagiakanmu!” aku terdiam. Mencoba berpikir keras memutuskan jawabannya. Jika tawarannya itu semua karena cinta, maka aku akan biarkan cinta ini pula yang memilih jalannya sendiri. Tapi ada ragu yang menyergap hatiku saat kuingat kata-katamu dulu. “Lelaki bule itu tak sungguh mencintaimu. Kalau dia benar mencintaimu, tak mungkin dia meninggalkanmu kembali ke negaranya,” benarkah ucapmu itu? Hatiku kembali gamang. 

Ingin kumenjerit memekikkan kepiluan. Hati yang dulu pernah pergi, kini dia telah kembali.  Memohon kesempatan tuk kembali mereguk bahagia bersamaku. Tentu saja semua karena cinta. Dan aku pun tak akan biarkan cinta yang pernah kuimpikan bersamanya menguap seketika karena keadaan yang tak pernah kuinginkan. Mantap kumelangkah menuju pintu keluar. Kurogoh kunci yang sudah kugandakan. Saat tanganku memegang handle pintu, seketika ruangan menjadi terang. Tubuhku gemetar. Kulihat kau berdiri di sudut ruang. “Pergilah, Na! Aku tahu kau terlalu lelah bersandiwara selama ini,” benarkah ucapmu itu? Hatiku kegirangan. Inilah saatnya aku membebaskan diri dari cinta yang tak pernah kuinginkan darimu. Tanpa ragu, juga tanpa mencium punggung tanganmu, aku segera berlalu menemui cinta sejatiku. Di halaman depan dia telah menunggu. Senyum kemenangan terpancar di wajah bulenya. Setengah jalan, langkah kakiku terhenti. “Jangan pergi, Ma!” seketika kubalikkan badan. Kupandangi wajah lelaki kecilku yang tengah bercucuran air mata. Dia menubrukku, menenggelamkan kepalanya dalam pelukanku. Isak tangisnya begitu mengiris hati, hingga tak lagi kupedulikan suara klakson yang berkali-kali dipencet si bule. Sampai dia jengah dan berlalu.



*pernah diikutkan dalam Misteri Ilmu Group Aku Anak Rantau (AAR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar