Selasa, 18 Desember 2012

Mawar Yang Tak Lagi Mekar


 

 Malam sudah semakin larut. Aku masih tetap tak bergeming dari tempat dudukku. Kudongakkan kepala menengadah memandang wajah rembulan yang bulat sempurna. Kedua kakiku kudekap dengan posisi melipat untuk sedikit mengusir udara dingin yang kian menusuk sendi-sendiku.
“Masuk, Nduk! Udara di luar semakin dingin,” teriak Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku hanya menggeleng pelan. Semakin kurapatkan kedua lututku ke dada.
Melihatku tak jua beranjak, Ibu mendekatiku. Duduk di sampingku dan sekilas kulihat ada kekhawatiran di mata Ibu.
“Kamu kenapa, Nduk? Boleh Ibu tahu??” Ibu membelai rambutku. Tapi aku masih enggan membuka mulut ini untuk menjawabnya. Yang ada, aku justru menangis tertahan.
“Kok malah nangis? Sebenarnya ada apa to, Nduk?” untuk kedua kalinya Ibu menanyaiku.
“Mawar tak mau menikah dengan Mas Jono, Bu. Tolong bilang Bapak, Mawar tak mau!” akhirnya jawaban itu keluar juga dari mulutku. Kusandarkan kepala di pangkuan Ibu. Ibu menghela nafas, seolah ingin melepaskan sebuah beban yang tengah menghimpit dadanya.
“Sebenarnya Ibu tahu kalau cintamu hanya untuk Arman. Tapi kapan dia akan melamar kamu? Sementara sudah sebulan yang lalu keluarga Jono datang ke sini lengkap dengan lamarannya. Dan Bapakmu terpaksa menangguhkan jawaban hanya untuk menunggu Arman yang katamu akan segera pulang dan melamarmu. Dua hari lagi Bapakmu harus memberikan jawaban pada keluarganya Jono, Nduk!” Ibu kini terlihat ikut gelisah.
“Lalu, Mawar harus bagaimana Bu?” isakku semakin menjadi. Takut membayangkan jika pernikahan itu harus benar-benar terjadi.
“Suruh Arman melamarmu dalam dua hari ini! Itu jalan satu-satunya, Nduk.” Ibu kembali mengusap kepalaku. Tak berapa lama, beliau beranjak pergi. Meninggalkan aku yang masih bingung bagaimana harus mengatakan semua ini pada Mas Arman. Kupandangi saja punggung Ibu yang kian menjauh.
Krrriiiiiingggg...
Ponsel yang sejak tadi kukantongi tiba-tiba berbunyi. Kulihat nomor Mas Arman yang meneleponku. Tiba-tiba hatiku berdenyar gembira. Tanpa menunggu lama, kuangkat telepon dari Mas Arman.
“Iya, halo Mas.” Aku menyapa duluan.
“Mawar, aku punya kabar gembira untukmu. Besok, Bapak-ibuku akan datang melamarmu. Memintamu menjadi istriku, Mawar.” Ada nada gembira yang terdengar dari suara Mas Arman. Aku yang belum siap dengan berita itu hanya bisa diam membisu, tapi hatiku melonjak bahagia. Ada detak-detak tak teratur yang membuat jantung ini semakin cepat terpacu.
“War, kok diam? Kamu tak suka?” Suara Mas Arman memecah kediamanku.
“Eh, iya... ya Mas... Mawar senang kok. Senang banget malah,” aku mencoba menutupi kegugupanku. Jika saat ini Mas Arman berada di depanku, aku pasti sudah malu karena wajahku pasti berubah merah semerah udang rebus.
“Ya sudah, tunggu aku ya! Aku sayang kamu, Mawar.”
Tanpa sanggup menjawabnya, aku hanya mengangguk-angguk mendengar suara Mas Arman, meski kenyataannya dia di seberang tak melihat apa yang kulakukan.
Begitu telepon ditutup, aku berlari ke dalam rumah persis seperti anak kecil yang menang lotre. Bapak dan Ibu yang masih menonton TV di ruang keluarga menjadi heran.
“Kamu kenapa, Nduk? Kok senyum-senyum sendiri?” Bapak menyambutku dengan tanya.
“Mawar senang, Pak-Bu. Besok Mas Arman dan keluarganya mau ke sini melamar Mawar.” Aku peluk Ibu dan Bapak secara bergantian. Ada rona bahagia yang juga terpancar di wajah keduanya.
Alhamdulillah... akhirnya Bapak tak perlu repot-repot menjawab lamaran Jono dan keluarganya, Nduk karena kamu sudah menentukan pilihanmu. Semoga Arman menjadi jodoh dunia akhiratmu.”
Amiiiiinnn!” aku dan Ibu serentak mengamini doa Bapak. Kulihat mata Bapak berkaca-kaca. Mungkin ada sedih yang merasuk ke dalam hatinya, karena sebentar lagi tanggungjawab Bapak akan berpindah tangan pada Mas Arman.
***
Kesibukan mulai kurasakan di rumahku. Meski ini baru lamaran, tapi Bapak ingin semuanya terlihat sempurna ketika menyambut keluarga Mas Arman. Apalagi status sosial Bapak di desa ini cukup mendapatkan tempat. Bapak adalah sesepuh di desa ini.
Bulik Ni baru saja selesai mendandaniku. Bulik yang memang perias manten itu dengan sukses membuat wajahku nampak berbeda dari biasanya. Sanggul modern sederhana telah terpasang rapi di rambutku. Bau wangi juga merebak dari roncean melati yang melingkari sanggulku. Di hari yang istimewa ini, aku mengenakan kebaya putih yang berpadu dengan bawahan batik warna senada. Seperti pengantin saja, pikirku.
“Kamu cantik sekali, Nduk. Arman nanti pasti akan pangling melihatmu.” Ibu mencolek daguku. Dipandanginya aku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku merasa malu saat Ibu melihatku seperti itu. Rona bahagia tak bisa lagi kusembunyikan.
“Mawar deg-degan, Bu.” Kupegang tangan Ibu. Ibu tersenyum. Wanita yang sudah melahirkanku itu juga nampak cantik dan anggun dengan paduan kebaya cokelat susu dan jilbab warna senada yang menutupi rambutnya.
“Santai, Nduk! Ini baru lamaran, bagaimana nanti kalau nikah beneran, pasti lebih deg-degan.” Aku mengangguk, mengiyakan saja apa perkataan Ibu.
Jujur, aku sangat bahagia sekali. Akhirnya hubungan yang sudah kujalin selama tiga tahun dengan Mas Arman akan segera menemukan arahnya.
Pukul 10.00 tamu-tamu undangan sudah pada berdatangan. Aku pun sudah menunggu bersama Bapak-Ibu di ruang utama. Hatiku semakin berdebar menunggu kedatangan Mas Arman dan keluarganya. Kumainkan jari-jariku untuk menghilangkan rasa grogiku. Bapak dan Ibu hanya tersenyum simpul melihat kelakuanku.
Siang semakin panas, namun Mas Arman dan keluarganya belum datang juga. Bapak terlihat gelisah, aku apalagi. Bisik-bisik lirih mulai terdengar dari para tamu yang duduk di belakangku. Hingga beberapa menit kemudian terdengar telepon rumah berdering. Bapak segera mengangkatnya. Aku tak tahu siapa yang menelepon, yang jelas kulihat saat itu tiba-tiba raut wajah Bapak berubah. Bapak terduduk lesu. Telepon ditutup.
“Ada apa Pak? Siapa yang telepon?” kali ini Ibu tak bisa membendung rasa penasarannya.
“Dari rumah sakit, Bu. Arman dan keluarganya mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan mau ke sini. Arman meninggal dalam kecelakaan itu.” Bapak tak mampu lagi menyembunyikan rasa sedihnya.
“Tidaaaaaaaaaaakkk... Mas Armannn!” aku berteriak histeris. Tiba-tiba kepalaku terasa berdenyar hebat dan sesaat kemudian semua terasa gelap.
***
“Sadar, Nduk! Istighfar,” Ibu membelai rambutku begitu aku tersadar.
Tahu-tahu aku sudah berada di dalam kamar. Pandanganku nanar. Ada rasa yang seolah mencabik-cabik hatiku. Perih. Aku hanya ingin menangis menumpahkan beban ini. Jiwaku benar-benar hancur.
“Ini Nduk, diminum dulu!” Bapak menyodorkan segelas teh hangat padaku. Aku hanya menggeleng. Rasa mual tiba-tiba menderaku. Tapi aku berusaha untuk menahannya.
“Tolong tinggalkan Mawar sendirian Pak, Bu!” aku meminta kesediaan Bapak dan Ibu untuk keluar dari kamarku. Bapak menganggukkan kepala pada Ibu. Beliau berdua pun akhirnya keluar. Pintu kamar ditutup. Suasana benar-benar hening. Hanya terdengar isak tangisku sambil menyebut-nyebut nama Mas Arman.
“Mas, mengapa kamu tega padaku? Janjimu kamu akan datang hari ini melamarku, tapi mengapa kamu malah tinggalin aku, Mas? Rasanya aku ingin menyusulmu saja. Aku ingin mati. Tapi bagaimana dengan jabang bayi kita? Tidak semestinya dia ikut menanggung dosa kita.” Isakku semakin menjadi. Rasa kehilangan dan beban yang akan kutanggung setelah ini, terasa berat membayang di pelupuk mataku.
Tak ada seorang pun yang tahu apa yang tengah terjadi padaku. Aku masih saja tergugu dalam penyesalan. Di tengah luka hati ini, mual kembali menyerangku. Kuelus dengan lembut perutku yang belum terlihat membuncit. Aku sadar, kini di rahimku telah tumbuh janin tak berdosa akibat perbuatanku dengan Mas Arman. Siapapun tak tahu keberadaannya, kecuali aku dan Mas Arman yang kini telah meninggalkanku.
Selama ini aku lupa kalau manusia hanya bisa berencana, tapi Allah lah yang tetap berwenang menentukan. Tak terkecuali apa yang kini tengah terjadi padaku. Bukan bahagia yang kuraih, justru malu yang bakal mencoreng masa depan dan keluargaku. Maafkan Mawar, Pak-Bu. Kini aku bukanlah Mawar yang mekar dengan indah, tapi Mawar yang sudah kehilangan duri untuk mempertahankan kehormatan diri.

~00000~


* Terbit di Majalah Potret Edisi 62


Tidak ada komentar:

Posting Komentar